Jumat, 06 Juni 2014

PROPOSAL SKRIPSI



BAB I
PENDAHULUAN

.     DITULIS oLEH SEBEDEUS SITOK
Latar Belakang Masalah
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satu-kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur, kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Propinsi Papua khususnya bagi masyarakat Papua.[1]
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Papua. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan oleh Pemerintah kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran lain di Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat asli Papua.[2]
Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Hak sipil dan politik adalah bagian dari hak asasi manusia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tidak memberikan pengertian secara definitif tentang hak sipil dan politik. Ifdhal Kasim menyimpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan hakekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya dalam bidang hak sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.[3]
Negara wajib menghormati, melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia yang terkandung di dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Pemerintah punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap hak-hak sipil dan politik di Papua.[4]
Yang dimaksud kewajiban negara dalam melaksanakan hak-hak sipil dan politik adalah : Pertama, wajib melindungi setiap hak, baik dengan hukum maupun kebijakannya. Kedua, negara tidak diperkenankan mengganggu, membatasi, apalagi melarang kebebasan orang untuk melaksanakan kegiatan pribadi dan politiknya. Ketiga, negara melalui aparat kepolisian wajib mengambil tindakan semestinya ketika terjadi perbuatan kriminal. Dan keempat, negara melalui aparat pengadilan wajib melaksanakan proses hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan kejahatan. Apabila negara tidak menuaikan keempat kewajiban itu, maka dapat dipastikan bahwa negara bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.
Selain mempunyai kewajiban, negara juga tanggung jawab terhadap warga Negara Indonesia asal Papua di Propinsi Papua melalui perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak sipil dan politik di dalam yuridiksinya. Sumber pokok hukum internasional tentang hak-hak sipil dan politik adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam kovenan itu, terkandung 22 jenis hak sipil dan politik yang wajib dilindungi setiap negara, yang diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 27. Setiap negara di dalam yuridiksinya wajib melindungi 22 hak tersebut tanpa diskriminasi, dengan demikian pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik dapat dipantau, diselidiki dan dipublikasikan. Ada beberapa hak sipil dan politik di antaranya: a) hak hidup; b) hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi; c) hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa; d) hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; e) hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum; f) hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama; g) hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi; h) hak untuk berkumpul dan berserikat i) hak untuk mendapatkan  perlidungan; j) hak atas kesamaan dimuka hukum; k) hak untuk turut serta dalam pemerintahan; dan l) hak untuk berpatisipasi dalam kegiatan politik.[5]
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengangkat judul : Pelanggaran Hak Sipil Politik Terhadap Warga Negara Indonesia Asal Papua di Provinsi Papua Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

B.     Rumusan Masalah
1.        Bagaimanakah pelanggaran hak sipil politik terhadap warga Negara Indonesia asal Papua di Provinsi Papua setelah berlakunya UU Otonomi Khusus terjadi?
2.        Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap warga Negara Indonesia asal Papua yang menjadi korban pelanggaran hak sipil dan politik setelah berlakunya UU Otonomi Khusus?

C.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui tentang pelanggaran hak sipil politik terhadap warga negara Indonesia asal Papua setelah berlakunya UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan upaya perlindungan hukum terhadap warga negara Indonesia asal Papua yang menjadi korban pelanggaran hak sipil dan politik setelah berlakunya UU Otonomi Khusus.

D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat hasil penelitian bagi :
1.      Secara Teoritis
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perkembangan Ilmu Hukum khususnya di bidang peradilan dan peneyelesaian sengketa hukum.
2.      Secara praktis bermanfaat bagi pihak-pihak terkait seperti :
a.       Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, dan hakim) dalam penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi di Papua
b.      Masyarakat, penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberi pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai pelanggaran hak sipil politik terhadap warga negara indonesia asal papua setelah berlakunya undang-undang otonomi khusus papua.
c.       Penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan serta kemampuan penulis untuk menganalisis masalah pelanggaran hak sipil politik terhadap warga negara Indonesia asal Papua setelah berlakunya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

E.     Keaslian Penelitian
Penelitian ini membahas tentang masalah pelanggaran hak-hak sipil dan politik terhadap warga negara Indonesia asal Papua di Provinsi Papua setelah berlakunya UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.

F.     Tinjauan Pustaka
a.      Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.[6]
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang hak sipil dan politik yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut mengingatkan negara-negara akan kewajibannya, menurut Piagam PBB, untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan hak sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati Hak-hak Sipil dan Politiknya.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu mengesahkan instrumen-instrumen utama mengenai HAM, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.[7]
Konsep Civil Rights atau hak-hak sipil adalah berhubungan dengan pemikiran dan tingkah laku kelompok masyarakat, pemerintah, individu untuk saling memperlakukan sesama dengan adil. Perlakuan yang adil terhadap individu warga Negara mengacu pada pandangan John Locke (1632-1704) yang menyatakan bahwa hak-hak sipil berhubungan dengan hak-hak alamiah, natural rights, yaitu setiap manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat lepas, di antaranya hak hidup, hak kemerdekaan ( kebebasan), hak milik, dan hak untuk mengusahakan kebahagian (V. Leyden, 1988: 19-20).[8] Selanjutnya dikatakan bahwa negara berfungsi untuk melindungi hak-hak milik pribadi, bukan untuk memperoleh kesamaan atau mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, melainkan untuk tetap menjamin kebutuhan milik pribadi yang berbeda-beda.[9]
Dalam Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Resolusi Majelis Umum, 2200A (XXI) tanggal 16 Desember 1966 dinyatakan bahwa, setiap insan manusia melekat hak untuk hidup, hal ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dicabut hidupnya dengan sewenang-wenang.
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan, hak atas kewarganegaraan, hak persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan, hak warga negara Indonesia atas pekerjaan,, hak setiap warga negara Indoensia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara, hak kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan.

b.      Ruang Lingkup Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Konstitusi, DUHAM dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Perubahan Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) yang terjadi sebanyak 4 (empat) kali semasa reformasi bergulir. Di dalam pembahasan konstitusi diatur isu yang sangat krusial seperti hak asasi manusia (HAM). Hak-hak dasar yang diakui secara universal kini mendapatkan pengakuan yang kuat oleh negara, hak inipun menjadi hak konstitusional (constitutional rights) yang di jamin oleh hukum tertinggi.
Pengaturan HAM di dalam UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus lain, serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) yang meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan berpikir dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Hak sipil dan politik (SIPOL) yang paling mendasar adalah hak kebebasan untuk berpikir dan berkeyakinan, tanpa adanya intervensi dari siapapun, sekalipun itu otoritas negara. Hal inilah yang disebut sebagai freedom of religion and believe (hak kebebasan atas agama dan kepercayaan). Terkait pula dengan hak-hak SIPOL adalah hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk tidak dibunuh atau disiksa. Hak ini disebut pula sebagai hak dasar, atau non-derogable rights yang artinya hak-hak dasar manusia yang tidak bisa ditunda dan tidak bisa dicabut dalam situasi apapun, baik itu dalam keadaan perang maupun dalam situasi darurat, negara harus tetap melindunginya.[10]
Peraturan mengenai hak-hak politik ( hak memilih dan dipilih) setiap orang, telah di pertegas dalam Pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, oleh sebab itu setiap warga negara mempunyai hak yang sama tanpa harus ada pembatasan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk dengan cara apapun.

c.       Warga Negara Indonesia
 Warga negara sesuai dengan definisi yang tertera di peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 1 angka 1 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut khusus mengenai Warga Negara Indonesia (WNI) dijelaskan di dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian direpetisi di dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006.  Yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam Pasal 4  huruf a menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.
Warga negara adalah salah satu tiang daripada adanya negara, disamping itu kedua tiang yang lain, yaitu wilayah dan pemerintah negara. Oleh karena itu, warga negara merupakan tiang atau sokoguru negara, maka kedudukan dari pada warga negara itu sangatlah penting dalam suatu negara. Hubungan warga negara dengan negara atau keanggotaan dalam negara, maka hubungan tersebut dinyatakan dengan istilah kewarganegaraan. Jadi istilah kewarganegaraan menyatakan hubungan atau ikatan hukum antara seorang individu dengan suatu negara atau keanggotaan dari pada suatu negara.[11]

d.      Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua
Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang  Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa otonomi khusus adalah suatu status politik yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan melaksanakan sejumlah kewenangan yang hanya berlaku di Provinsi Papua.
Keputusan politik menggabungkan Tanah Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1963 ternyata masih belum menghasilkan kesejahteraan, kemakmuran dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang-bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih sangat memprihatinkan dibandingkan dengan kesejahteraan yang dinikmati oleh sebagian besar saudara-saudaranya di provinsi lain di Indonesia. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan indikasi pengingkaran hak kesejahteraan rakyat Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat.
Bergulirnya reformasi di Indonesia membuka pintu bagi timbulnya berbagai pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa Indoenesia, khususnya masalah kasus Papua. Wakil-wakil rakyat di MPR-RI menetapkan perlunya memberikan otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1999. Pemberian kepercayaan seperti yang dimaksudkan tersebut adalah suatu langkah awal yang positif dan signifikan dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan strategis untuk meletakan kerangka dasar yang kukuh bagi dialog-dialog yang masih perlu dilakukan di masa depan demi tuntasnya penyelesaian masalah-msalah di Papua.
Undang-undang ini menempatkan penduduk asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai sentra perhatian. Keberadaan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi serta perangkat pemerintahan di bawahnya semua diarahkan untuk memberikan pelayanan dan pemberdayaan terbaik bagi rakyat Papua.

G.    Batasan Konsep
Dalam penelitian ini, batasan konsep diperlukan untuk memberikan batasan konsep dari berbagai pendapat yang ada mengenai konsep tentang:
1.      Pelanggaran adalah perbuatan melanggar[12]
2.      Hak Sipil Politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan hakekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya dalam bidang hak sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.[13]
3.      Warga Negara Indonesia menurut Pasal 4 huruf a UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
4.      Papua adalah sebuah provinsi terluas di Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya), yang kini di sebut Provinsi Papua. Belahan timur berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG), Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi di mana bagian tetap/induk memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat.[14]
5.      Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15] Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan oleh Pemerintah kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat asli Papua.[16]
6.      Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menurut penjelasannya adalah undang-undang yang mengatur kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri.

H.    Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan. Hal ini diteliti berdasarkan norma hukum yang berlaku dengan bahan hukum sekunder sebagai bahan hukum utama.
Terkait dengan penelitian ini, norma-norma hukum yang menjadi bahan kajian adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelanggaran hak sipil dan politik terhadap warga Negara Indonesia asal Papua setelah berlakunya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus Papua.
2.      Sumber Data
Data-data yang dapat diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari :
a.       Data Primer : data yang diperoleh secara langsung dari narasumber dan responden.
b.      Data Sekunder : data yang diperoleh dari studi kepustakaan, data sekunder ini merupakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
1.      Bahan hukum primer, antara lain berupa peraturan perundang-undangan yaitu :
a.       Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerinthan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-unang. Ayat 2 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.
b.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2001 tentang HAM
c.       Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
d.      Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus  bagi Provinsi Papua
e.       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
f.       Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Revolusi No.39/46 disetujui oleh Majelis Umum 10 Desember 1984
g.      Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Warga Negara Republik Indonesia
h.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2.      Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa : pendapat hukum dalam literatur, doktrin, asas-asas hukum, jurnal, fakta hukum, hasil penelitian, dokumen, surat kabar, internet dan majalah ilmiah.
3.      Bahan Hukum Tertier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berkaitan dengan permasalahan hukum.
3.      Cara Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini akan dilakukan dengan dua langkah pengumpulan data yaitu, studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undang yang terkait dengan permasalahan hukum penelitian dan studi terhadap artikel-artikel yang menyangkut dengan pelanggaran hak-hak sipil dan politik terhadap warga Negara Indonesia asal Papua di Provinsi Papua.
4.      Responden Narasumber
Narasumber dari penelitian ini adalah :
a.       Komisioner Hak Asasi Manusia
b.      Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta
5.      Metode Analisis Data
Langkah pertama peneliti dalam menganalisis adalah dengan mempelajari bahan hukum primer yaitu mendiskripsikan atau memaparkan peraturan perundang-undangan masalah hukum.
Bahan hukum sekunder yang berupa bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti artikel-artikel, karya ilmiah, buku-buku, pendapat-pendapat para ahli bidang hukum, media masa dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga diperoleh suatu abstraksi tentang Pelanggaran Hak Sipil Politik terhadap Warga Negara Indonesia asal Papua di Provinsi Papua setelah berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua.
Analisis data ini dilakukan secara kualitatif, yaitu data-data yang ada dibuat dalam kata-kata atau kalimat. Data kuantitatif tersebut dianalisis dengan metode berfikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
I.       Sistematika Skripsi
Sistematika penulisan hukum ini secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penelitian
D.    Manfaat Penelitian
E.     Keaslian Penelitian
F.      Tinjauan Pustaka
G.    Batasan Konsep
H.    Metode Penelitian
a.       Jenis Penelitian
b.      Sumber Data
c.       Cara Pengumpulan Data
d.      Responden/narasumber
e.       Metode analisis data
BAB II : PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tinjauan umum tentang pengertian/definisi mengenai hak sipil politik, warga negara indonesia dan undang-undang otonomi khusus Papua.
BAB III : PENUTUP
Bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran dari penulis setelah melakukan penelitian hukum.













DAFTAR PUSTAKA


Buku :
Hadi Setia Tunggal, 2000, Himpunan Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Harvindo, hlm 1-19.

Ifdhal Kasim, 2001. Hak Sipil dan Politik, Cetakan Pertama 2001.

Markus H, 2013, Hidup atau Mati, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua, Penerbit Deiyai, Jayapura, Papua, hlm 17-18.

M. Lutfi Chakim, www.blogger.com, 21.23 Jumat, 26 Agustus 2011.

P. Paulus, S.H, 1983, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945, Penerbit P.T. Pradnya Paramita, hlm 41.

Valentinus Miharso, 2009, Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika dan Implikasinya bagi Indonesia, Membongkar Pemikiran Martin Luther King, JR dan Malcom X, Penerbit Sekolah Pascasarjana UGM, hlm 37-38.


Peraturan perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan politik
Kovenan Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Revolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum 10 Desember 1984.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Warga Negara Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Kamus :
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Terbaru, Penerbitan dan Pencetak Gitamedia Press, sett & Lay out, Mitra Presindo, hlm 478.




[1] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia, Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diubah pada pkl 15:55 1 Januari 2014.
[2]  Ibid,
[3] Ifdhal Kasim, 2001. Hak Sipil dan Politik, Penerbit ELSAM, Cetakan Pertama, hlm 469.
[4] Markus H, 2013, Hidup atau Mati, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua, Penerbit Deiyai, Jayapura, Papua, hlm 17.
[5] Ibid. hlm. 18.
[6] Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2005, tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Ghalia Indonesia.
[7] Ibid. Hlm 312.
[8] Hadi Setia Tunggal, 2000, Himpunan Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Harvarindo, hlm 1-19.
[9] Valentinus Miharso, 2009, Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika dan Implikasinya bagi Indonesia, Membongkar Pemikiran Martin Luther King, JR dan Malcom X, Penerbit Sekolah Pascasarjana UGM, hlm 37-38.
[10] M.Lutfi Chakim, www.blogger.com, 21.23 Jumat, 26 Agustus 2011
[11] P. Paulus, 1983, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945, Penerbit P.T. Pradnya Paramita, hlm 41.
[12] Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Terbaru, Penerbitan dan Pencetak Gitamedia Press, Sett & Lay out, Mitra Presindo, hlm 478.
[13] Ifdhal Kasim, Op.Cit.
[14]  Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Halaman ini terakhir diubah pada 05.47, 30 Desember 2013.
DITULIS OLEH SEBEDEUS SITOKDANA 
MAHASISWA  ATMAJAYA YOGYAKARTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!