PERAN DAN PERGERAKAN KEMAHASISWAAN YANG TAK
PERNAH MATI PERAN DAN PERGERAKAN KEMAHASISWAAN
YANG TAK PERNAH MATI
Oleh : AGUSTINUS UROPKA
MAHASISWA selalu menjadi
bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan
mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal
tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di
Barat. Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola
pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan
mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong
mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara
mereka sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bila
generasi muda khususnya para mahasiswa, selalu dihadapkan pada permasalahan
global. Setiap ada perubahan, mahasiswa selalu tampil sebagai kekuatan pelopor,
kekuatan moral dan kekuatan pendobrak untuk melahirkan perubahan. Oleh karena
itu kiranya sudah cukup mendesak untuk segera dilakukan penataan seputar
kehidupan mahasiswa tersebut. Dalam sejarahnya mahasiswa merupakan kelompok dalam kelas menengah
yang kritis dan selalu mencoba memahami apa yang terjadi di masyarakat. Bahkan
di zaman kolonial, mahasiswa menjadi kelompok elite paling terdidik yang harus
diakui kemudian telah mencetak sejarah bahkan mengantarkan Indonseia ke gerbang
kemerdekaannya.
Pergolakan dan perjalanan
mahasiswa Indonesia telah tercatat dalam rentetan sejarah yang panjang dalam
perjuangan bangsa Indonesia, seperti gerakan mahasiswa dan pelajar tahun 1966
dan tahun 1998. Masih dapat kita ingat 8 tahun yang lalu gerakan mahasiswa
Indonesia yang didukung oleh semua lapisan masyarakat berhasil menjatuhkan
suatu rezim tirani yaitu ditandainya dengan berakhirnya rezim Soeharto. Legenda
perjuangan mahasiswa di Indonesia sendiri juga telah memberikan bukti yang
cukup nyata dalam rangka melakukan agenda perubahan tersebut.
Tinta emas sejarahnya
dapat kita lihat dengan lahirnya angkatan ‘08, ‘28, ‘45, ‘66, ‘74, yang
masing-masing memiliki karakteristik tersendiri tetapi tetap pada konteks
kepentingan wong cilik. Terakhir lahirlah angkatan bungsu ‘98 tepatnya pada
bulan Mei 1998 dengan gerakan REFORMASI yang telah berhasil menurunkan Presiden
Soeharto dari kursi kekuasaan dan selanjutnya menelurkan Visi Reformasi
yang sampai hari ini masih dipertanyakan sampai dimana telah dipenuhi. Dengan demikian adalah
sebuah keharusan bagi mahasiswa untuk menjadi pelopor dalam melakukan fungsi
control terhadap jalannya roda pemerintahan sekarang. Bukan malah sebaliknya. Agenda
reformasi adalah tanggung jawab kita semua yang masih merasa terpanggil
sebagai kaum intelektual, kaum yang kritis dan memiliki semangat yang kuat. Dan
tanggung jawab ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai rasa
sosial yang tinggi. Bukan orang-orang kerdil yang hanya memikirkan perut,
golongannya dan tidak bertanggung jawab. Hanya lobang-lobang kematianlah yang
mampu menjadikan mereka untuk berpikir bertanggung jawab. Jangan pikirkan mereka,
mari pikirkan solusi untuk menghibur Ibu Pertiwi yang selalu menangis dengan
ulah-ulah anak bangsanya sendiri.
Kini
zaman memang sudah berubah. Mahasiswa bukan lagi sebagai elite yang paling
terdidik, tetapi mereka tetap memiliki peranan besar. Jika diibaratkan
permainan sepakbola, ia adalah gelandang yang selalu melempar isu. Jadi peran
mahasiswa memang tidak kecil. Pada saat ini bangsa Indonesia masih dalam keprihatinan. Kebutuhan
hidup masyarakat semakin sulit didapat akibat kenaikan BBM, TDL dan tarif
telepon. Dalam kondisi itu, masyarakat mendapat kesulitan kepada siapa harus
mengeluh. Dalam suasana kesusahan dan kebingungan itu, rakyat perlu mencari
pegangan untuk suatu perjuangan mengadukan nasibnya.
Bertolak
dari itu setiap kebijakan yang diambil lembaga pemerintahan masih harus terus
diuji, tidak saja dengan pikiran yang jernih dan hati nurani yang baik, tetapi
juga dengan jiwa dan semangat kebangsaan yang sejalan dengan wawasan kebangsaan
warisan para leluhur bangsa kita. Pernyataan keprihatinan atas keadaan bangsa dan
negara yang disuarakan akhir-akhir ini merupakan manifestasi dan dinamika
perjuangan demokrasi serta sesuai dengan suara hati nurani rakyat yang tengah
menghadapi berbagai krisis yang semakin berat. Sayangnya suara keprihatinan itu
tidak ada yang mampu mendengarnya.
Di waktu
yang lampau mahasiswalah yang menjadi pendengar yang baik. Mereka menyuarakan
suara rakyat itu dengan caranya sendiri, entah lewat demonstrasi atau mimbar
bebas. Setelah Orde Baru berhasil mereka tumbangkan, kini suara sejuk mereka
belum terdengar lagi. Sampai saat ini perjuangan mahasiswa itu tetap masih ada, tetapi
berbentuk kelompok, terpisah-pisah, dan dibusukkan oleh isu pesanan, percaloan,
dan uang. Bahkan, ada gerakan-gerakan yang terhipnotis ke parpol atau golongan,
sehingga makna perjuangan yang murni membela nasib bangsa mengalami degradasi.
Padahal bangsa kita selalu berharap agar perjuangan mahasiswa tetap merupakan
barometer perjuangan untuk berpihak pada penderitaan dan keprihatinan rakyat.
Barangkali
memang sudah menjadi hukum alam, bahwa untuk menjadi pemimpin seseorang harus
dikaitkan dengan idealisme. Sementara kebanyakan orang adalah para oportunis
dan pragmatis. Tanpa idealisme tampaknya dunia akan tenggelam dalam rutinitas
dan kebosanan, dan mungkin dekaderi, lalu baru tenggelam. Itulah sebabnya idealisme
perjuangan mahasiswa harus terus dipelihara dan dijaga agar tidak mencong
sehingga akan tetap menjadi pedoman umum yang kredibel guna mempertahankan
negara kebangsaan ini.
Kita tahu
bahwa kebangunan bangsa tidak dari gegap gempitanya massa. Oleh karena itu,
perjuangan mahasiswa tidak sekadar demo yang bersifat fisik tetapi merupakan
gerakan cerdas. Hanya dengan itu perjuangan mahasiswa akan tetap di hati
rakyat. Kondisi
tersebut tidak terlihat lagi pada masa kini, mahasiswa memiliki agenda dan
garis perjuangan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya. Sekarang ini mahasiswa
menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar. Meski begitu, setidaknya
mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat di
daerahnya masing-masing. Mahasiswa sudah telanjur dikenal masyarakat
sebagai agent of change, agent of modernization, atau
agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa
untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya. Mahasiswa
harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan
sampai ke akar-akarnya.
Dengan adanya sikap
kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi
yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap
dalam pola pikir setiap mahasiswa. Sebaliknya, pemikiran konservatif pro-status
quo harus dihindari. Mahasiswa harus menyadari, ada banyak hal di
negara ini yang harus diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan
komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus diinterpretasikan oleh
mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dimungkiri, mahasiswa
sebagai social control terkadang juga kurang mengontrol dirinya
sendiri. Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan sikap yang dapat
merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak
menghinggapi mahasiswa. Karena itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa
dapat pula ditunjukkan dengan keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah.
Mahasiswa dapat mengasah keahlian dan spesialisasi pada bidang ilmu yang mereka
pelajari di perguruan tinggi, agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan sosial
ketika terjun di masyarakat kelak.
Peran dan fungsi
mahasiswa dapat ditunjukkan secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda
yang diperjuangkan. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus
tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa. Sikap kritis harus tetap ada dalam
diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan
yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dengan begitu,
mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas
kerakyatan. Peran Lembaga Kemahasiswaan cukup signifikan, baik untuk lingkup
nasional, regional maupun internal kampus itu sendiri. Ke depan, peran
strategis ini seharusnya juga dimainkan oleh lembaga-lembaga formal kampus
lainnya seperti pers mahasiswa, atau kelompok studi profesi. Secara garis
besar, menurut Sarlito Wirawan, ada sedikitnya tiga tipologi atau karakteristik
mahasiswa yaitu tipe pemimpin, aktivis, dan mahasiswa biasa.
Pertama, tipologi mahasiswa
pemimpin, adalah individu mahasiswa yang mengaku pernah memprakarsai,
mengorganisasikan, dan mempergerakan aksi protes mahasiswa di perguruan
tingginya. Mereka itu umumnya memersepsikan mahasiswa sebagai kontrol
sosial, moral forcedan dirinya leader tomorrow. Mereka
cenderung untuk tidak lekas lulus, sebab perlu mencari pengalaman yang cukup
melalui kegiatan dan organisasi kemahasiswaan.
Kedua, tipologi aktivis
ialah mahasiswa yang mengaku pernah aktif turut dalam gerakan atau aksi protes
mahasiswa di kampusnya beberapa kali (lebih dari satu kali). Mereka merasa
menyenangi kegiatan tersebut, untuk mencari pengalaman dan solider dengan
teman-temannya. Mahasiswa dari kelompok aktivis ini, juga cenderung tidak ingin
cepat lulus, namun tidak ingin terlalu lama. Mereka tidak terlalu memersepsikan
diri sebagai leader tomorrow namun pengalaman hidup perlu
dicari di luar studi formalnya. Sudah barang tentu jumlah mereka itu lebih
banyak daripada kelompok pemimpin.
Ketiga, tipologi mahasiswa
biasa adalah kelompok mahasiswa di luar kelompok pemimpin dan aktivis yang
jumlahnya paling besar lebih dari 90%. Sesungguhnya cenderung pada hura-hura
yaitu kegiatan yang dapat memberikan kepuasan pribadi, tidak memerlukan
komitmen jangka panjang dan dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama.
Mereka ingin segera lulus, bahkan tidak sedikit mahasiswa yang tidak
segan-segan dengan cara menerabas (nyontek, membuat skripsi
"Aspal" dan lain-lain) agar segera lulus. Apakah hal ini merupakan
indikator kurangnya dorongan prestatif di kalangan mahasiswa, masih perlu
diteliti. Fakta membuktikan, dinamika kehidupan bangsa dan mahasiswa pada
umumnya banyak dimotori oleh tipe pemimpin dan aktivis ini. Meskipun secara
kuantitas kecil tetapi mereka mampu menjadi pendorong dan agen utama perubahan
dan dinamika kehidupan kampus. Sebagian mereka karena telah terlatih menjadi pemimpin
dan aktivis, maka tidak sulit setelah selesai pada akhirnya mereka juga menjadi
pemimpin dan aktivis setelah terjun di masyarakat dan pemerintahan.
URGENSI BAGI DAERAH
Dilihat dari segi
kualitas maupun kuantitas, para mahasiswa tetap saja merupakan komunitas elite
yang patut diperhitungkan dari dulu dan sampai kini terlebih bagi suatu daerah.
Di daerah, masih relatif sedikit anggota masyarakatnya yang dapat menyekolahkan
sampai tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, keberadaan mahasiswa bagi suatu
daerah merupakan modal sosial yang luar biasa, yang dapat dimanfaatkan dan
diberdayakan bagi pembangunan suatu daerah. Namun mahasiswa, dapat juga menjadi
suatu "ancaman" bagi pemerintahan suatu daerah karena dapat bersikap
kritis dan mengambil peran sebagai kekuatan kontrol. Demikian juga para
mahasiswa harus mulai berorientasi ke daerah bukan lagi ke pusat karena Pusat
selain sudah overload juga menjadi simbol ketimpangan
pembangunan di Indonesia, sehingga diperlukan desentralisasi dan orientasi baru
dalam pembangunan daerah. Dengan terjadinya perubahan dalam Paradigma
Pemerintahan & Pembangunan dari konsepgovernment ke good governance, dimana
aktor tunggal negara bergeser ke sinergitas kekuatan tiga pilar lainnya yaitu
negara swasta dan civil society. Oleh karena itu pemerintah daerah
dalam proses perumusan kebijakan sejak dari perencanaan, implementasi sampai
evaluasi kebijakan harus melibatkan 2 pilar lainnya yaitu Swasta dan civil
society di mana di dalam kelompok terakhir inilah, mahasiswa sering menjadi
motor dan moral force
ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Dinamika kehidupan
mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari wadah atau organisasi yang menjadi
instrumen bagaimana gagasan atau program berusaha diwujudkan, baik organisasi
intra maupun ekstra kampus. Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi
merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan
wawasan dan peningkatan kecendikiawanan serta integritas kepribadian mahasiswa
untuk mewujudkan tujuan pendidikan tinggi. Mengingat mahasiswa merupakan bagian
dari civitas academica dan sebagai generasi muda dalam tahap
pengembangan dewasa muda, maka dalam penataan organisasinya disusun berdasarkan
prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dan merupakan subsistem dari perguruan
tinggi yang bersangkutan.
Pengalaman selama ini
menunjukkan, perguruan tinggi yang telah berhasil membentuk organisasi
kemahasiswaan sesuai prinsip-prinsip tersebut cenderung akan diterima oleh para
mahasiswa dan memperoleh partisipasi secara optimal. Dengan demikian, dapat
diharapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan di perguruan tinggi maupun antarkampus
dapat berjalan dengan lancar. Perlu dicatat, dewasa ini kecenderungan
organisasi kemahasiswaan yang bernuansa keilmuan dan profesi yang kegiatannya
antarkampus. Bahkan kadang-kadang berdimensi internasional cukup meningkat. Hal
ini, jelas memerlukan uluran tangan pimpinan perguruan tinggi, baik dalam aspek
bimbingan keilmuan maupun dukungan biaya yang tidak ringan. Keterlibatan ikatan
profesi senior mereka dan dunia usaha, diharapkan dapat menunjang kegiatan ini.
Di Lingkungan Universitas ini, kami memperjuangkan pmebentukan lembaga
kemahaiswaan tingkat universitas yang insya allah pada tahun ini akan dibentuk
secara formal.