BAB I
PENDAHULUAN
. DITULIS oLEH SEBEDEUS SITOK
Latar Belakang Masalah
Sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satu-kesatuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan
politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi
Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya
mengandung cita-cita luhur, kenyataannya berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) di Propinsi Papua khususnya bagi masyarakat Papua.[1]
Momentum reformasi
di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000
menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Papua. Hal
ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun
kepercayaan rakyat kepada Pemerintah sekaligus merupakan langkah strategis
untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu
dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Provinsi Papua
adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan
diberikan oleh Pemerintah kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi
hasil pemekaran lain di Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak
dasar masyarakat asli Papua.[2]
Provinsi Papua
sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara
dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki
lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati
diri orang Papua dalam bentuk bendera dan lagu daerah yang tidak diposisikan
sebagai simbol kedaulatan.
Hak sipil dan
politik adalah bagian dari hak asasi manusia. Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik tidak memberikan pengertian secara definitif tentang hak
sipil dan politik. Ifdhal Kasim menyimpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik
adalah hak yang bersumber dari martabat dan hakekat pada setiap manusia yang
dijamin dan dihormati keberadaannya dalam bidang hak sipil dan politik yang
pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.[3]
Negara wajib
menghormati, melindungi (to protect)
dan memenuhi (to fulfil) hak asasi
manusia yang terkandung di dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik. Pemerintah punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap hak-hak sipil
dan politik di Papua.[4]
Yang dimaksud kewajiban
negara dalam melaksanakan hak-hak sipil dan politik adalah : Pertama, wajib melindungi setiap hak,
baik dengan hukum maupun kebijakannya. Kedua,
negara tidak diperkenankan mengganggu, membatasi, apalagi melarang kebebasan
orang untuk melaksanakan kegiatan pribadi dan politiknya. Ketiga, negara melalui aparat kepolisian wajib mengambil tindakan
semestinya ketika terjadi perbuatan kriminal. Dan keempat, negara melalui aparat pengadilan wajib melaksanakan proses
hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan kejahatan. Apabila negara
tidak menuaikan keempat kewajiban itu, maka dapat dipastikan bahwa negara
bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.
Selain mempunyai kewajiban,
negara juga tanggung jawab terhadap warga Negara Indonesia asal Papua di
Propinsi Papua melalui perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak sipil dan
politik di dalam yuridiksinya. Sumber pokok hukum internasional tentang hak-hak
sipil dan politik adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik. Dalam kovenan itu, terkandung 22 jenis hak sipil dan politik yang
wajib dilindungi setiap negara, yang diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 27.
Setiap negara di dalam yuridiksinya wajib melindungi 22 hak tersebut tanpa
diskriminasi, dengan demikian pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak sipil dan
politik dapat dipantau, diselidiki dan dipublikasikan. Ada beberapa hak sipil
dan politik di antaranya: a) hak hidup; b) hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan
tidak manusiawi; c) hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa; d) hak atas
kebebasan dan keamanan pribadi; e) hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama
di hadapan hukum; f) hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama; g)
hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi; h) hak untuk berkumpul dan
berserikat i) hak untuk mendapatkan
perlidungan; j) hak atas kesamaan dimuka hukum; k) hak untuk turut serta
dalam pemerintahan; dan l) hak untuk berpatisipasi dalam kegiatan politik.[5]
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, maka penulis mengangkat
judul : Pelanggaran Hak Sipil Politik
Terhadap Warga Negara Indonesia Asal Papua di Provinsi Papua Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pelanggaran hak sipil politik terhadap warga Negara Indonesia
asal Papua di Provinsi Papua setelah berlakunya UU Otonomi Khusus terjadi?
2.
Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap warga Negara Indonesia asal
Papua yang menjadi korban pelanggaran hak sipil dan politik setelah berlakunya
UU Otonomi Khusus?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian
yang dilakukan adalah untuk mengetahui tentang pelanggaran hak sipil politik
terhadap warga negara Indonesia asal Papua setelah berlakunya UU No.21 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan upaya perlindungan hukum
terhadap warga negara Indonesia asal Papua yang menjadi korban pelanggaran hak
sipil dan politik setelah berlakunya UU Otonomi Khusus.
D.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat hasil
penelitian bagi :
1.
Secara Teoritis
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perkembangan
Ilmu Hukum khususnya di bidang peradilan dan peneyelesaian sengketa hukum.
2.
Secara praktis bermanfaat bagi pihak-pihak terkait seperti :
a.
Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, dan hakim) dalam
penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi di Papua
b.
Masyarakat, penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberi
pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai pelanggaran hak sipil politik
terhadap warga negara indonesia asal papua setelah berlakunya undang-undang
otonomi khusus papua.
c.
Penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan
serta kemampuan penulis untuk menganalisis masalah pelanggaran hak sipil politik
terhadap warga negara Indonesia asal Papua setelah berlakunya UU No. 21 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
E.
Keaslian Penelitian
Penelitian ini membahas
tentang masalah pelanggaran hak-hak sipil dan politik terhadap warga negara Indonesia
asal Papua di Provinsi Papua setelah berlakunya UU No.21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan.
F.
Tinjauan Pustaka
a.
Sejarah Perkembangan
Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
memproklamasikan Universal Declaration of
Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya
disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan
dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua
rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan
kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara
anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di
bawah yurisdiksi mereka.[6]
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ini mengukuhkan
pokok-pokok HAM di bidang hak sipil dan politik yang tercantum dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang
mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait.
Kovenan tersebut mengingatkan negara-negara akan kewajibannya, menurut Piagam
PBB, untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung
jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam
Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan
mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati
kebebasan hak sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan
hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk
dapat menikmati Hak-hak Sipil dan Politiknya.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mengamatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM,
Indonesia perlu mengesahkan instrumen-instrumen utama mengenai HAM, khususnya
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.[7]
Konsep Civil Rights atau hak-hak sipil adalah berhubungan dengan pemikiran dan
tingkah laku kelompok masyarakat, pemerintah, individu untuk saling
memperlakukan sesama dengan adil. Perlakuan yang adil terhadap individu warga
Negara mengacu pada pandangan John Locke (1632-1704) yang menyatakan bahwa
hak-hak sipil berhubungan dengan hak-hak alamiah, natural rights, yaitu setiap manusia diciptakan sama dan memiliki
hak-hak alamiah yang tidak dapat lepas, di antaranya hak hidup, hak kemerdekaan
( kebebasan), hak milik, dan hak untuk mengusahakan kebahagian (V. Leyden,
1988: 19-20).[8]
Selanjutnya dikatakan bahwa negara berfungsi untuk melindungi hak-hak milik
pribadi, bukan untuk memperoleh kesamaan atau mengontrol pertumbuhan milik
pribadi yang tidak seimbang, melainkan untuk tetap menjamin kebutuhan milik
pribadi yang berbeda-beda.[9]
Dalam Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,
Resolusi Majelis Umum, 2200A (XXI) tanggal 16 Desember 1966 dinyatakan bahwa, setiap
insan manusia melekat hak untuk hidup, hal ini harus dilindungi oleh hukum.
Tidak seorang pun boleh dicabut hidupnya dengan sewenang-wenang.
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan
bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar
Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan
tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak
semua bangsa atas kemerdekaan, hak atas kewarganegaraan, hak persamaan
kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan, hak
warga negara Indonesia atas pekerjaan,, hak setiap warga negara Indoensia atas
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak berserikat dan berkumpul bagi setiap
warga negara, hak kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu dan hak setiap
warga negara Indonesia atas pendidikan.
b.
Ruang Lingkup Hak-Hak Sipil
dan Politik dalam Konstitusi, DUHAM dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Perubahan Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) yang terjadi sebanyak 4
(empat) kali semasa reformasi bergulir. Di dalam pembahasan konstitusi diatur
isu yang sangat krusial seperti hak asasi manusia (HAM). Hak-hak dasar yang
diakui secara universal kini mendapatkan pengakuan yang kuat oleh negara, hak
inipun menjadi hak konstitusional (constitutional
rights) yang di jamin oleh hukum tertinggi.
Pengaturan HAM di dalam UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya, hak
atas pembangunan dan hak khusus lain, serta tanggung jawab negara dan kewajiban
asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable
rights) yang meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan berpikir dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut.
Hak sipil dan politik (SIPOL) yang paling mendasar adalah hak kebebasan
untuk berpikir dan berkeyakinan, tanpa adanya intervensi dari siapapun,
sekalipun itu otoritas negara. Hal inilah yang disebut sebagai freedom of religion and believe (hak
kebebasan atas agama dan kepercayaan). Terkait pula dengan hak-hak SIPOL adalah
hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk tidak dibunuh atau
disiksa. Hak ini disebut pula sebagai hak dasar, atau non-derogable rights yang artinya hak-hak dasar manusia yang tidak
bisa ditunda dan tidak bisa dicabut dalam situasi apapun, baik itu dalam
keadaan perang maupun dalam situasi darurat, negara harus tetap melindunginya.[10]
Peraturan mengenai hak-hak politik ( hak memilih dan dipilih) setiap orang,
telah di pertegas dalam Pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) UU No 39 Tahun 1999
tentang HAM, oleh sebab itu setiap warga negara mempunyai hak yang sama tanpa
harus ada pembatasan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk
dengan cara apapun.
c.
Warga Negara Indonesia
Warga negara sesuai dengan definisi yang
tertera di peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 1 angka 1 UU Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan adalah warga suatu negara yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut khusus mengenai Warga
Negara Indonesia (WNI) dijelaskan di dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945
yang kemudian direpetisi di dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006. Yang menjadi WNI adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam Pasal 4 huruf a menyatakan bahwa Warga Negara
Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara
lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu
negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga
negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap
negaranya. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan
terhadap warga negaranya.
Warga negara adalah salah satu tiang daripada adanya negara, disamping itu
kedua tiang yang lain, yaitu wilayah dan pemerintah negara. Oleh karena itu,
warga negara merupakan tiang atau sokoguru negara, maka kedudukan dari pada
warga negara itu sangatlah penting dalam suatu negara. Hubungan warga negara
dengan negara atau keanggotaan dalam negara, maka hubungan tersebut dinyatakan
dengan istilah kewarganegaraan. Jadi istilah kewarganegaraan menyatakan
hubungan atau ikatan hukum antara seorang individu dengan suatu negara atau
keanggotaan dari pada suatu negara.[11]
d.
Undang-Undang No. 21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua
Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyatakan
bahwa otonomi khusus adalah suatu status politik yang diakui dan diberikan
kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan melaksanakan sejumlah kewenangan yang
hanya berlaku di Provinsi Papua.
Keputusan politik menggabungkan Tanah Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia sejak tahun 1963 ternyata masih belum menghasilkan
kesejahteraan, kemakmuran dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua.
Kondisi masyarakat Papua dalam bidang-bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan
dan sosial politik masih sangat memprihatinkan dibandingkan dengan
kesejahteraan yang dinikmati oleh sebagian besar saudara-saudaranya di provinsi
lain di Indonesia. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran
hak-hak asasi manusia (HAM) dan indikasi pengingkaran hak kesejahteraan rakyat
Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat.
Bergulirnya reformasi di Indonesia membuka pintu bagi timbulnya berbagai
pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa
Indoenesia, khususnya masalah kasus Papua. Wakil-wakil rakyat di MPR-RI menetapkan
perlunya memberikan otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana diamanatkan
dalam GBHN 1999. Pemberian kepercayaan seperti yang dimaksudkan tersebut adalah
suatu langkah awal yang positif dan signifikan dalam rangka membangun
kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan strategis untuk
meletakan kerangka dasar yang kukuh bagi dialog-dialog yang masih perlu
dilakukan di masa depan demi tuntasnya penyelesaian masalah-msalah di Papua.
Undang-undang ini menempatkan penduduk asli Papua dan penduduk Papua pada
umumnya sebagai sentra perhatian. Keberadaan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi
serta perangkat pemerintahan di bawahnya semua diarahkan untuk memberikan
pelayanan dan pemberdayaan terbaik bagi rakyat Papua.
G.
Batasan Konsep
Dalam penelitian ini,
batasan konsep diperlukan untuk memberikan batasan konsep dari berbagai
pendapat yang ada mengenai konsep tentang:
1.
Pelanggaran adalah perbuatan melanggar[12]
2.
Hak Sipil Politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan hakekat pada
setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya dalam bidang hak sipil
dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.[13]
3.
Warga Negara Indonesia menurut Pasal 4 huruf a UU no 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik
Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi
Warga Negara Indonesia.
4.
Papua adalah sebuah provinsi terluas di Indonesia yang terletak di bagian
tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West
New Guinea (Irian Jaya), yang kini di sebut Provinsi Papua. Belahan timur
berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG), Provinsi Papua dulu mencakup seluruh
wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi
di mana bagian tetap/induk memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai
nama Papua Barat.[14]
5.
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15] Otonomi
Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan oleh
Pemerintah kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran
Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat asli
Papua.[16]
6.
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua menurut penjelasannya adalah undang-undang yang mengatur kebebasan bagi
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri.
H.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang
dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan
perundang-undangan. Hal ini diteliti berdasarkan norma hukum yang berlaku
dengan bahan hukum sekunder sebagai bahan hukum utama.
Terkait dengan penelitian ini, norma-norma hukum yang menjadi bahan kajian
adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelanggaran hak sipil
dan politik terhadap warga Negara Indonesia asal Papua setelah berlakunya UU
No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus Papua.
2. Sumber Data
Data-data yang dapat diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari :
a.
Data Primer : data yang diperoleh secara langsung dari narasumber dan
responden.
b.
Data Sekunder : data yang diperoleh dari studi kepustakaan, data sekunder
ini merupakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
1.
Bahan hukum primer, antara lain berupa peraturan perundang-undangan yaitu :
a.
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerinthan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-unang. Ayat 2 Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan prinsip NKRI, yang diatur dalam
undang-undang.
b.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2001 tentang HAM
c.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
d.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
e.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
f.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Revolusi No.39/46 disetujui
oleh Majelis Umum 10 Desember 1984
g.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Warga Negara Republik Indonesia
h.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa : pendapat hukum dalam literatur, doktrin,
asas-asas hukum, jurnal, fakta hukum, hasil penelitian, dokumen, surat kabar,
internet dan majalah ilmiah.
3.
Bahan Hukum Tertier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
berkaitan dengan permasalahan hukum.
3. Cara Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini akan dilakukan dengan dua langkah
pengumpulan data yaitu, studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undang
yang terkait dengan permasalahan hukum penelitian dan studi terhadap artikel-artikel
yang menyangkut dengan pelanggaran hak-hak sipil dan politik terhadap warga
Negara Indonesia asal Papua di Provinsi Papua.
4. Responden Narasumber
Narasumber dari penelitian ini adalah :
a.
Komisioner Hak Asasi Manusia
b.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta
5. Metode Analisis Data
Langkah pertama peneliti dalam menganalisis adalah dengan mempelajari bahan
hukum primer yaitu mendiskripsikan atau memaparkan peraturan perundang-undangan
masalah hukum.
Bahan hukum sekunder yang berupa bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti artikel-artikel, karya ilmiah, buku-buku,
pendapat-pendapat para ahli bidang hukum, media masa dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan penelitian ini, sehingga diperoleh suatu abstraksi tentang
Pelanggaran Hak Sipil Politik terhadap Warga Negara Indonesia asal Papua di
Provinsi Papua setelah berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus bagi provinsi
Papua.
Analisis data ini dilakukan secara kualitatif, yaitu data-data yang ada
dibuat dalam kata-kata atau kalimat. Data kuantitatif tersebut dianalisis
dengan metode berfikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat khusus,
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
I.
Sistematika Skripsi
Sistematika penulisan
hukum ini secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penelitian
D.
Manfaat Penelitian
E.
Keaslian Penelitian
F.
Tinjauan Pustaka
G.
Batasan Konsep
H.
Metode Penelitian
a.
Jenis Penelitian
b.
Sumber Data
c.
Cara Pengumpulan Data
d.
Responden/narasumber
e.
Metode analisis data
BAB II : PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan
tinjauan umum tentang pengertian/definisi mengenai hak sipil politik, warga
negara indonesia dan undang-undang otonomi khusus Papua.
BAB III : PENUTUP
Bab ini akan
dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran dari penulis setelah melakukan
penelitian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Hadi Setia Tunggal, 2000, Himpunan Deklarasi Universal tentang Hak-Hak
Asasi Manusia, Harvindo, hlm 1-19.
Ifdhal Kasim, 2001. Hak Sipil dan Politik, Cetakan Pertama 2001.
Markus H, 2013, Hidup atau Mati, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi
Manusia di Papua, Penerbit Deiyai, Jayapura, Papua, hlm 17-18.
P. Paulus, S.H, 1983, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945, Penerbit
P.T. Pradnya Paramita, hlm 41.
Valentinus Miharso, 2009, Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika dan
Implikasinya bagi Indonesia, Membongkar Pemikiran Martin Luther King, JR dan
Malcom X, Penerbit Sekolah Pascasarjana UGM, hlm 37-38.
Peraturan perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar
1945
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM.
Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan politik
Kovenan Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang kejam, Tidak Manusiawi, dan
Merendahkan Martabat Manusia (Revolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum 10
Desember 1984.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Warga Negara Indonesia
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Kamus :
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Terbaru, Penerbitan dan Pencetak Gitamedia Press, sett & Lay out, Mitra
Presindo, hlm 478.
[1] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan
Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari
79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001.
Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih
tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi
seluruh daerah di Indonesia,
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diubah pada pkl 15:55 1 Januari
2014.
[2] Ibid,
[4] Markus
H, 2013, Hidup atau Mati, Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di
Papua, Penerbit Deiyai, Jayapura, Papua, hlm 17.
[6] Penjelasan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2005, tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik, Ghalia Indonesia.
[7] Ibid. Hlm 312.
[8] Hadi Setia Tunggal, 2000, Himpunan
Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Harvarindo, hlm 1-19.
[9] Valentinus Miharso, 2009, Perjuangan
Hak-Hak Sipil di Amerika dan Implikasinya bagi Indonesia, Membongkar Pemikiran
Martin Luther King, JR dan Malcom X, Penerbit Sekolah Pascasarjana UGM, hlm
37-38.
[11] P. Paulus, 1983, Kewarganegaraan RI
Ditinjau dari UUD 1945, Penerbit P.T. Pradnya Paramita, hlm 41.
[12]
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Terbaru, Penerbitan dan Pencetak
Gitamedia Press, Sett & Lay out, Mitra Presindo, hlm 478.
[13] Ifdhal Kasim, Op.Cit.
[14] Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas, Halaman ini terakhir diubah pada
05.47, 30 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!