Selasa, 28 Oktober 2014

GERAKAN PAPUA MENGAJAR, AGENDA MENDESAK!




ditulis oleh: Fransiskus Kasipmabin
Ketika sore itu, tepatnya pada hari selasa (21/09/2013), sejumlah mahasiswa Papua melakukan diskusi bebas di kantin Realino Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekitar pukul 19.00, aktifitas perkuliahan di universitas tersebut, berangsur-angsur mulai sunyi dari keramaian kampus. Hanya disekitar Kantin realino sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra, program studi Ilmu sejarah sedang asyik melakukan diskusi. Mereka diskusi apa, entalah.
Dua mahasiswa Universitas Dharma Dharma Yogyakarta sedang asyik diskusi, mereka adalah anggota NATAS. Natas adalah lembaga Pers Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Mereka sibuk dengan sebuah kertas putih yang berisi tulisan-tulisan, tak jauh dari meja diskusi kami di ruangan tersebut. Saya mengenal mereka. Mereka adalah anggota Natas. Baiklah lupakan saja mereka!
Sejumlah mahasiswa Papua yang sedang kuliah beberapa kampus di Yogyakarta, kumpul di kantin realino USD. Entah bagaimana mereka bisa berkumpul di realino? Yang jelas beberapa kawan kawan dari mereka diundang oleh salah seorang kawan untuk menceritakan pengalamannya, ketika Dia berliur di Kampung halamannya. Selain itu, 5 menit kemudian dua orang kawan kami muncul. Mereka mulai canda-tawa sambil memesan kopi di samping kios.
Mereka adalah Sevianus Urwan, Melkior Sitokdana, Uski Bidana, Isak Kalka, FX. Kasipmabin, dan dua kawan diantaranya adalah Ino Urpon dan Yuling Malo. Bagaimana kisah mereka dalam diskusi bebas tersebut? Berikut laporan Komapo News dari tempat diskusi.
Pada awalnya, liburan panjang sedang menanti di depan mata (Liburan semester). Sebagian dari mahasiswa Papua yang kuliah di Yogyakarta bergegas meninggalkan yogyakarta, demi menemui keluarga melepaskan kerinduan bersama di kampung halamannya. Yang jelas beda dengan salah satu mahasiswa Papua ini. Dia Adalah Sevianus Urwan, salah satu mahasiswa sekolah Tinggi Bahasa Asing Yogyakarta.
Dia berkisah “selama saya berlibur di Papua, kurang lebih tiga bulan. Saya berlibur di kampung halaman, tepatnya di kampung Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang. Selama liburan tersebut saya meliput berita di Jayapura, dan di daerah Kampung halaman (di muat di media Komapo)”. Selain itu, Dia menceriterakan pengalamnnya ketika dia berada di wilayah distrik Okbab, saya membantu mendirikan sebuah gedung sekolah Menengah Pertama (SMP), membantu mengajar dari kelas satu sampai dengan kelas enam Sekolah Dasar.
Disana (Okbab) Urwan menemui beberapa masalah, seperti tidak ada guru, sehingga proses belajar mengajara di SD-SMP menjadi kendala besar. Selama tiga bulan saya membantu beberapa guru (2 orang) mengajar semua mata pelajaran dari SD-SMP. Selain itu, sarana dan para sarana pendidikan tidak ada.
Masalah kedua, pemahaman masyarakat tentang bagaimana mengelolah uang dan bagaimana memulai suatu usaha. Hal ini menjadi masalah serius di masyarakat di wilayah ini. Karena banyak uang yang beredar di masyarakat seperti dana respek, BLM, Bantuan Sosial, dan lain-lainnya. Dana ini tidak diguakan dengan baik. Salah satu program dari dana Respek adalah mengembangkan usaha kios. Namun lagi-lagi gagal dalam usaha. Menyangkut bangkrutnya usaha kios, kata mereka bahwa masyarakt biasa meminjam uang di kios tersebut dan lupa membayar utang mereka.
Masalah ketiga, menemui penambangan emas di gunung Ayup, ketengban, Pegunungan Bintang. Mereka mengambil emas secara illegal. Penambangan illegal tersebut mulai beroperasi pada tahun 2011 silam. Pelaku pengambilan emas secara illegal adalah orang-orang China. Masyarakat di daerah sekitar itu tidak tahu, bahwa orang asing tersebut mengambil Emas di gunung. Mereka produksi di Jawa timur. Katanya “Saya tau dari salah seorang teman di sana bahwa mereka masuk di wilayah tersebut dan ekploitasi emas di sana. Teman itu merupakan salah satu karyawan. Sehingga saya berharap kita bisa advokasi tentang persoalan ini” katanya.
Begitulah jalan cerita yang diceritakan oleh Sevianus Urwan, ketika berlibur di kampung halamannya. Dia berharap “kita bisa mengajar di sana, walaupun latar belakang pendidikan kita bukan jurusan pendidikan. Memang masyarakat di sana membutuhkan kita. Dengan demikian kita harus tau segala-galanya. Kita harus belajar apa saja di sini. Karena saya sendiri mengalaminnya, ketika waktu liburan di sana. Saya dipercayakan untuk melakukan banyak hal, walaupun kemampuan masih terbatas, saya mampu melaksanakan tanggungjawab yang diberikan kepada saya” katanya.
Setelah menceritakan pengalamannya di kampung halaman, FX.Kasipmabin berpendapat bahwa “ jika kita melihat secara umum penyebaran gedung-gedung sekolah di daerah pedalaman Pegunungan Bintang banyak sekali, sehingga sebenarnya banyak anak diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang selaknya seperti daerah lain di wilayah Papua dan Indonesia. Namun sayangnya belum dilengkapi dengan pendukung, terutama tenaga pengajar, fasilitas seperti buku ajar, komputer, kapur tulis dan lain-lainnya, sehingga kadangkala menjadi kendala dalam proses belajar meng-ajar di sekolah (Gedung) tersebut”.
Katanya lagi, bahwa logisnya seberapa outtput (siswa/i) yang diluluskan dan disiapkan oleh pemerintah untuk mendapatkan pendidikan di sekolah lanjutan, memenuhi kampanye pendidikan gratis bagi rakyatnya dan target pendidikan (Kesiapan SDM) seperti bagaimana yang dikampanyekan, maka menurut hemat saya kita bertolak dan melihat dari persentase penduduk di wilayah tersebut.
Jika persentase tingkat kelahiran anak setiap tahun lebih meningkat, maka setiap tahun tingkat anak masuk sekolah (kesempatan mendapatkan pendiidkan bagi anak umur 7-12) pun meningkat. Dengan demikian tingkat (persentase) kelulusan SD,SMP, SMA, dan Perguruan tinggi meningkat pula. Jika sebaliknya tingkat kelahiran bayi di Pegunungan Bintang berkurang, maka harapan akan menyiapkan SDM semakin sulit untuk mendapatkan target, katanya dalam diskusi tersebut.
“Saat ini pengamatan saya (Pengamatan pada saat liburan di Oksibil, bulan Juni-bulan Agustus 2013), di Oksibil ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang mengalami penurunan yang amat sangat luar biasa. Terutama tingkat kematian ibu dan anak semakin hari-semakin meningkat (maaf tidak ada data tetapi yang saya lihat, mendengar dan rasakan selama 3 bulan di Oksibil seperti itu). Anak umur 0-7 tahun semakin berkurang. Dengan demikian, jumlah siswa baru yang terdaftar menjadi murid di sekolah dasar merosot jauh dari harapan sekolah.
Dengan demikian jumlah siswa yang lulus SD berkurang, sehingga penyebaran di sekolah menengah Pertama di Oksibil dan sekitarnya berkurang. Misalnya di wilayah Oksibil terdapat 2 SMP dan distrik Okaom terdapat sebuah SMP model satu atap. Begitu pula berdampak pada tingkat kelulusan di tingkat SMP. Terbukti, bahwa persentase tingkat (jumlah) siswa yang lulus pada tahun 2013 sangat minim. Misalnya jumlah anak yang terdaftar menjadi siswa baru di tiga Sekolah menengah (2 SMA dan 1 SMK) di Oksibil pada tahun 2013 menurun drastis. Di SMA YPPK Bintang Timur Mabilabol 19 anak, SMA Negeri 1 Oksibil berjumlah 15 anak, sedangkan jumlah siswa baru di SMK Negeri 1 Oksibil 96 anak” katanya. Dengan demikian, dia (Frans) berharap pemerintah daerah setempat memperhatikan sumber sumber vital seperti memperbaiki gizi ibu dan anak dan lainnya.
Selain itu, katanya “sumber lain melaporkan Untuk IPM di Papua, khusus di kabupaten Pegunungan Bintang masih dibawah Kabupaten Tolikara, Asmat, Mappi, Dogiyai, Yahukimo dan Lanny Jaya padahal beberapa kabupaten dimekarkan pada saat bersamaan melalui UU No. 26 Tahun 2002, kecuali kabupaten Dogiyai, dan Lanny Jaya dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008. IPM untuk kabupaten Pegunungan Bintang angka harapan hidup 66.00 %, angka melek huruf 32.50 %, rata-rata lama sekolah 2.54 %. pengeluaran perkapita disesuikan 588.02 % dan IPM 49.45”.
Amor Malo mengatakan, bahwa bangunan gedung sekolah yang dibangun di wilayah Pegunungan Bintang itu merupakan sebuah proyek yang dikerjakan oleh CV. Pemilik CV tersebut sebagian besar dimiliki oleh anak asli daerah yang berlatar belakang PNS. Mereka mengerjakan tidak profesional. Kadangkalah dana  digunakan untuk kepentingannya  sendiri, sehingga pembangunan gedung dan sarana dan para sarana tidak rampung.
Disi lain, Melkior Sitokdana, berpandangan bahwa solusi dari saya adalah untuk menyelamatkan rakyat dari ketertinggalan akses pendidikan adalah kembangkan program gerakan Pegunungan Bintang mengajar, dan atau gerakan Papua Mengajar. Kita harus mengajar, mahasiswa yang hendak berlibur ke Kampung halaman, setidaknya harus mengajar. Mengajar apa saja di sana, baik mengajar di sekolah maupun di luar sekolah. Mengajar rakyat tentang segala hal yang tentunya membantu mereka keluar dari kebodohan, ketertinggalan dari segala-galanya. Saya berkeinginan mengajar di sana, seketika selesai dari Magister Teknik Elektro di UGM. Saya berencana mengikuti pelatihan mengajar selama 6 bulan di program Indonesia mengajar sehingga kelaknya bisa dapat sharing ilmu pengatahuan kepada orang Papua” katanya.
Uski Bidana menambahkan, saya mendukung yang dikatakan Sevi dan melkior bahwa walaupun kita berlatar belakang pendidikan yang berbeda, saya berharap kita harus mengajar supaya masyakat keluar dari pradigma orang Indonesia bahwa orang Papua itu bodoh. Saya pernah mengajarkan tentang bagaimana memulai usaha produk lokal sampai memasarkan produk lokal ke luar daerah, terbukti masyarakat bisa melakukannya (kebun jeruk di kampung Apom Kiwirok).
Selain itu, liburan semester ini (juni-agustus) di kiwirok, dua mahasiswi dari KOMAPO mengajar di sana. Mereka memanfaatkan liburan untuk mengajar di daerah tersebut. Katanya kepala kampung berkeinginan dan berkomitmen suatu saat nantinya akan saya membiayai tiket PP untuk mengajar apa saja yang mendukung warga kampung keluar dari ketidaktauan.
Ino Urpon berpandangan, bahwa untuk menekan harga barang di wilayah kabupaten Pegunungan Bintang, pemanfaatan sumber-sumberdana yang mengalir ke wilayah tersebut dan penggunaan dana sebaik mungkin, maka perluh ada kebijakan khusus yang dibuat oleh pemerintah setempat. Kebijakan khusus misalnya harga pengiriman barang disubsidi oleh pemerintah, perluh ada gerakan mengajar dan sosialisasi bagaimana berwirausaha dengan baik di tingkat masyarakat lokal. Pemerintah terkait tentunya melakukan pendampingan khusus terhadap masyarakat setempat.
Ia menambahkan juga bahwa konsep pengembangan ekonomi lokal perluh diperhatikan serius oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dan didukung oleh mahasiswa tentunya. Saya merasa basis-basis produksi sumber daya lokal ditempatkan di lokasi-lakis tertentu. Misalnya di wilayah ketengban memproduksi Daging Babi, wilayah Abmi produksi buah terung, margisa dan sejenisnya, wilayah kiwrok dan sekitarnya memproduksi sayur dan buah jeruk, wilayah Batom produksi beras, dan di wilayah Iwur produksi Ikan, dsb.
Rantai pengembangan produksi ekonomi lokal ini tentu membutuhkan dana, tentunya pemerintah sebagai pemangku kepentingan menganggarkan anggaran sehingga masyarakat mengelola sumber sumber daya tersebut. Setelah itu, untuk kebutuhan hidup, maka pemerintah menekan harga dengan memberikan subsidi untuk pengiriman barang oleh pesawat udara, sehingga setiap distrik mengambil bagian dalam proses jual- beli bahan produksi. Dengan demikian predaran uang hanya di lingkungan masyarakat Pegunungan Bintang” kata Ino.
Sampai saat ini laporan bupati Pegunungan Bintang, dana masyarakat Pegunungan Bintang yang keluar dari warga Oksibil sebesar 300 Miliar per bulan. Dana itu bersumber dari membeli Togel per hari. Apa lagi dana konsumsi per hari. Karena warga di ibukota kabupaten membeli kebutuhan keluarga di kios dan warung makan. Warga disekitar Oksibil mereka malas kerja, sejak hadirnya kabupaten di tengah-tengah mereka. Dengan demikian gerakan mengajar di segala bidang perluh untuk diselenggarakan dipedalaman Pegunungan Bintang. Agenda mendesak, karena melalui ini tentanya menyelamatkan generasi masa depan.

Fransiskus Kasipmabin, Mahasiswa Papua Kuliah di Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!