Minggu, 05 Oktober 2014

PEMERINTAH INDONESIA DINILAI TIDAK MELAKSANAKAN OTONOMI DAERAH DI PAPUA TIDAK BERJALAN DENGAN SEMESTINNYA


MATERI
Pemerintah Indonesia  dinilai tidak  melaksanakan  dengan sungguh-sungguh dan konsisten  kebijakan Otsus yang merupakan keputusan politik. Pemerintah juga tidak menyadari bahwa otsus adalah alat tawar-menawar dan jalan penyelesaian menang-menang antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia tentang status politik  Papua dalam wilayah Indonesia.  Yang jelas dan pasti,  UU Otsus dibuat karena seluruh rakyat Papua menyatakan aspirasi politik untuk  keluar dari wilayah Indonesia. Tapi, sayang,  Otonomi Khusus sebagai solusi politik yang berprospek damai dan bermartabat itu dinyatakan gagal total dari mayoritas peserta evaluasi otsus. 
Yang tidak disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan hadiah Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua.  Pemerintah juga lupa, Otsus  bukan pemberian cuma-cuma dari pemerintah  kepada rakyat Papua.  Otsus tidak lahir dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional  tidak tahu  latar belakang dan  fakta sejarah lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua. 
Latar belakang dan fakta sejarah lahirnya otsus sebagai berikut. Tim 100 sebagai duta-duta rakyat Papua menghadap  Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie pada 26 Februari 1999 di Istana Negara Jakarta. Tim 100 dari Papua menyampaikan: “ Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat,namun telah dianeksasi oleh Negara Republik Indonesia.” 
Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.” “Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa: 
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi. Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai, dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999. 
Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua, maka: (1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); (2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
Tidak saja berhenti pada Tim 100, namun  Rakyat Papua  mengadakan Musyarawah Besar (MUBES)  pada 23 - 26 Pebruari 2000 di Hotel Sentani Indah.  Dalam MUBES, rakyat Papua  telah membicarakan hak-hak politik, hukum, keadilan dan kemanusiaan rakyat Papua sebagai bangsa  menyampaikan komunike politik bangsa Papua  sebagai berikut  :
1. Bangsa Papua menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada presiden Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang telah dengan penuh perhatian mendengar jeritan hati rakyat Papua mengenai identitas diri kami bangsa Papua sehingga menetapkan perubahan nama Irian  menjadi Papua pada tanggal 31 desember 1999. Dan oleh karena itu, kami akan seterus dan selamanya menggunakan nama Papua  sebagai sebutan untuk menggantikan nama Irian. Penghargaan yang sama kami sampaikan juga kepada presiden RI ke tiga B.J. Habibie yang telah menerima rakyat Papua untuk berdialog pada 26 Pebruari 1999 di istana negara Jakarta.
2. Rakyat Papua  menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan bangsa Papua dari Belanda melalui  PBB kepada pemerintah   Indonesia pada 1 mei 1963. Penyerahan kedaulatan bangsa Papua tersebut, tidak pernah mendapat persetujuan dari rakyat dan dewan nasional Papua Barat yang mempunyai hak dan kewenangan untuk menentukan nasib bangsa Papua.  
3. Bahwa sebagai konsekuensi dari  tidak sahnya peralihan kedaulatan rakyat bangsa Papua oleh Belanda melalui PBB kepada Indonesia, maka rakyat Papua dengan tegas menolak hasil pepera yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962. Penolakan  seluruh hasil pepera yang diselenggarakan dan dimenangkan oleh Indonesia pada tahun 1969 tersebut berdasarkan alasan sebagai berikut: 
(a) Pelaksanaan pepera tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 pasal 18 butir d,  “ yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa - pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan act of self determination harus sesuai dengan tata kebiasaan atau praktek  international”, atau one man one vote. (b) Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self determination yang disebut pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua, dengan mengintimidasi secara politik dan militer, menangkap, memenjarakan dan membunuh rakyat Papua yang menentang cara-cara Indonesia dalam melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement.
(c)Bahwa 1026 orang yang di pilih Indonesia yang menentukan hasil pepera sebagai kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua, hanya 0,8 % dari 800.000, rakyat Papua. Mayoritas rakyat Papua  yakni; 99 ,2 % yang karena di intimidasi tidak memberikan hak suara. (d) bahwa kami bangsa Papua setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi :
Pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah kepada etnik dan kultur genoside bangsa Papua , maka kami atas dasar hal-hal tersebut diatas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961. Sebagai mana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J. Habibie beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 pebruari 1999 di istana Negara Jakarta.
(e) Dalam rangka mewujudkan kehendak bangsa Papua untuk merdeka - terpisah dari negara  RI, kami akan menempuh dengan jalan dialog dan dengan cara-cara damai serta demokratis untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. (f) Sehubungan dengan  - pengakuan kedaulatan hak-hak rakyat Papua maka semua bentuk kebijakan pembangunan RI di Papua supaya di negosiasikan dengan rakyat Papua sebagai pemegang kedaulatan rakyat Papua.
(g) Komunike politik ini kami menyampaikan dengan hormat kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Belanda,  pemerintah Amerika Serikat dan PBB sebagai pihak-pihak yang telah meniadakan hak-hak politik bangsa Papua. Juga disampaikan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia untuk ikut mengetahui alasan -alasan dan mendukung kehendak bangsa Papua.
Rakyat Papua dalam memperjuangkan nasib bangsanya, tidak berhenti pada Tim 100 dan MUBES. Namun Rakyat Papua melaksanakan Kongres Nasional II Rakyat dan bangsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni 2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rachman Wahid.   Dalam Kongres II Nasional Papua ini, dikeluarkan resolusi sebagai berikut:       
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB Desember 1948, Alinea I Mukadimah UUD RI tahun 1945, Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) 14 Desember 1960 mengenai jaminan pemberian kemerdekaan kepada rakyat dan wilayah-wilayah jajahan, Manifesto Politik Komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober 1961, pengakuan presiden Soekarno atas Keberadaan Negara Papua Barat yang tercetus melalui Tri Komando Rakyat tanggal 19 Desember 1961, dan hasil-hasil kongres II Papua Juni 2000 terutama keinginan kuat dari seluruh rakyat dan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI, maka rakyat bangsa Papua melalui Kongres II Papua 2000 menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di seluruh dunia, bahwa :
(1) Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara  sejak 1 Desember 1961. (2)  Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua. (3) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil Pepera, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu Bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969. (4)  Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
(5) Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan internasional. (6)  PBB, AS,dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
 (7) Memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan Papua Barat serta pengusutan dan pengadilan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat. (8)  Segera membentuk suatu tim independen yang akan melakukan perundingan damai dengan Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB untuk suatu referendum pengakuan kedaulatan rakyat dan bangsa Papua. 
(9) Penyelesaian masalah status politik Papua Barat secara adil dan demokratis harus dilakukan antara wakil-wakil sah bangsa Papua dengan pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB. (10) Berdasarkan pengalaman Bangsa Papua selama 38 tahun di bawah penindasan dan kekerasan pemerintah RI, maka kongres II Papua 2000 menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan hukum dan keamanan bagi bangsa Papua”.
Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, apa yang disampaikan di atas adalah latar belakang lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.  Pemerintah Indonesia berusaha kuat dengan berbagai cara dan pendekatan, baik dengan  pendekatan keamanan dan stigmasisasi separatisme  untuk mengkaburkan dan menghilangkan proses sejarah ini. Rakyat Papua tidak pernah berbicara sekedar makan dan minum. Benang merah tuntutan dan perjuangan rakyat dan bangsa Papua tentang status politik dan masa depan mereka sudah jelas dan tidak bisa dihilangkan dengan kampanye kesejahteraan semu dan hampa belakangan ini.   
Pemerintah Indonesia juga belum melaksanakan rekomendasi tentang masalah hak azasi manusia di Papua  yang ditetapkan dalam Sidang Working Group Universal Periodic Review Dewan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012 lalu. Indonesia dievaluasi oleh 74 negara dan sebanyak 14 negara yang mempertanyakan kondisi HAM di Papua. Ke-14 negara itu adalah Kanada, Australia, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Prancis, Jerman, Swiss, Meksiko, Selandia Baru, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat dan Italia.
Pada  Juli 2013  Komisi  HAM PBB  independen di Jenewa, Swiss, mempertanyakan Pemerintah Indonesia juga  masalah kejahatan Negara dan kegagalan perlindungan orang Asli Papua dalam otonomi Khusus. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “apa yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para demonstran di Papua, dengan sejumlah demonstran meninggal? Sebanyak 70 orang pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?”
Sultan Hamengku Buwono X sebagai seorang bangsawan sejati dan negarawan dengan jujur dan tepat dapat menyimpulkan   kegagalan Pemerintah Indonesia dalam membangun Papua.  ”Otonomi Khusus Papua terbukti gagal mensejahterakan rakyat Papua. Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan Negara di Papua. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Konflik yang terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua”. (Hotel Borobudur,  Jakarta, 15 Mei 2013).   
Dari berbagai pihak menyatakan kebijakan otsus bagi Papua telah gagal.  Karena itu, apa yang disampaikan dalam pertemuan MRP Papua dan Papua Barat dengan Penduduk Asli Papua dalam evaluasi Otsus patut dihargai dan didukung.  Ada dua  solusi yang diusulkan: (1) Membuka ruang dialog damai antara Penduduk Asli Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan di tempat yang netral. (2)  UU No. 21 Tahun 2001 yang diamandemen dengan UU No. 35 tahun 2008 atas Otsus untuk Papua dan Papua Barat akan diterapkan setelah dialog damai diadakan.  Selain dua solusi tadi, langkah mendesak lain yang perlu dilaksanakan pemerintah Indonesia adalah (1) Membebaskan semua tahanan politik di Papua tanpa syarat. (2) Pelapor Khusus PBB diijinkan masuk ke Papua. (3) Para wartawan asing dan pekerja kemanusiaan diijinkan masuk ke Papua.  Walaupun tuntutan ini berat bagi Indonesia, namun demi rasa keadilan dan penegakan hak asasi manusia patut  dilaksanakan dalam semangat demokrasi di Indonesia.  
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara benar, jelas, dan tegas sejak awal karena telah terbentuk berbagai pemahaman/persepsi yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai Otonomi Khusus di kalangan rakyat Papua. Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi, telah membuat rakyat Papua sudah tidak percaya lagi terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh Pemerintah RI.
Yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai Otonomi Khusus di Papua juga terjadi di kalangan pejabat pemerintah dan anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Hal-hal tersebut adalah beberapa di antara hambatan-hambatan untuk menyosialisasikan UU tentang Otonomi Khusus di Papua.
Istilah Otonomi Khusus terdiri dari dua kata yaitu kata “otonomi” dan “khusus.” Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri atau rumah tangganya sendiri. Hal itu berarti pula bahwa rakyat Papua telah mendapatkan kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar untuk berpemerintahan sendiri, mengatur penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, mengatur dan mengelola segenap sumber daya yang dimilikinya, termasuk sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, tetapi dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta memberikan kontribusinya kepada kepentingan nasional.
Demikian juga kebebasan dan kearifan untuk menentukan kebijakan, strategi dan program-program pembangunan daerah, antara lain pembangunan infrastruktur, pembangunan sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan ketertiban, yang sesuai dengan keunikan dan karakteristik alam serta masyarakat dan budaya Papua.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan jati diri serta harga diri dan martabat orang Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan-kekhususan yang dimilikinya, kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, budaya dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.
Produk Sejarah
Mengapa kepada Provinsi Papua, harus diberikan status Otonomi Khusus, berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001? Undang-undang ini tidak lahir begitu saja dalam suatu kevakuman. Ia lahir sebagai suatu produk sejarah, melewati suatu proses sejarah yang panjang dengan segala suka dan dukanya. Ia lahir dalam konteks dinamika sosial-politik dan keamanan dari Negara Kebangsaan (Nation State) Indonesia. Ia lahir dalam konteks penegakan hukum, HAM dan demokrasi.
Undang-undang ini juga lahir sebagai upaya penyelesaian konflik. Sebagai jalan keluar untuk menciptakan Win-Win Situation antara rakyat Papua yang ingin merdeka dan melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI (NKRI) dan Pemerintah RI yang tetap kokoh-teguh mempertahankan integritas dan kedaulatan atas NKRI. Di satu pihak, sangat jelas bahwa keinginan banyak orang Papua adalah kemerdekaan penuh dari RI, sebagaimana disampaikan dalam Kongres Papua II di Jayapura (29 Mei sampai 3 Juni 2000). Di lain pihak juga sangat jelas bahwa para penguasa Indonesia telah bereaksi negatif atau menolak tuntutan tersebut – suatu pandangan yang juga dianut oleh banyak negara di Barat.
Kita semua menyadari, bahwa kedua belah pihak, dengan alasannya masing-masing jika tetap teguh mempertahankan sikapnya, pendiriannya, prinsip-prinsipnya dan berjuang dengan segala cara, termasuk cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya, maka situasi konflik akan sulit untuk dihindari dan konflik tersebut akan berkembang menjadi lebih luas dan lebih dalam dengan segala implikasinya. Dalam setiap konflik, korban yang akan berjatuhan dari kedua belah pihak akan sulit untuk dihindari, termasuk jatuhnya korban dari orang-orang yang tidak bersalah.
Undang-Undang tentang Otonomi Khusus juga sekaligus membuka ruang bagi perbaikan untuk masa depan yang lebih baik, belajar dari kesalahan masa lampau agar supaya kita tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Dengan demikian undang-undang ini membuka ruang untuk perbaikan dalam rangka memperjuangkan perbaikan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, persamaan hak, dan untuk mengembangkan jati diri, harga diri serta harkat dan martabat sebagai manusia.
Dengan demikian undang-undang ini juga membuka ruang untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Papua yang sangat merosot, diakibatkan oleh kekecewaan mereka yang sangat dalam kepada Pemerintah RI, dan sebaliknya membangun kembali kepercayaan Pemerintah RI kepada rakyat Papua. Undang-undang ini juga membuka kesempatan dan sekaligus sebagai tantangan untuk pengembangan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan manajemen daerah/lokal dalam rangka mengembangkan Good Governance, Demokrasi dan Civil Society di Provinsi Papua.




Masalah Implementasi
Pada tanggal 21 November 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Hingga sekarang, sudah lebih dari satu setengah tahun sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi dan Perdasus) yang ditetapkan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berbagai hambatan telah menghadang implementasi dari undang-undang tersebut.
Hambatan-hambatan yang telah menjadi masalah bagi implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua, dalam pengamatan kami, antara lain sebagai berikut.
Pertama, masalah ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang Otonomi Khusus di Papua. Sejak awal telah terbentuk persepsi, pemahaman dan pengertian yang berbeda-beda tentang Otonomi Khusus di kalangan masyarakat Papua itu sendiri. Bertolak dari pemahaman dan persepsi yang berbeda-beda, respons yang diberikan oleh masyarakat Papua juga berbeda-beda. Ada sebagian yang memberikan respons yang positif, ada pula yang memberikan respons yang negatif dan ada yang bersikap netral.
Mereka yang memberikan respons secara positif, melihat status Otonomi Khusus sebagai suatu jalan keluar yang bersifat Win-Win yang dapat mencegah konflik bahkan mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Ada pula sebagian masyarakat yang secara tegas menolak status Otonomi Khusus, karena yang mereka inginkan adalah kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI.
Hal lain seperti dikemukakan di atas, bahwa yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi yang berbeda-beda, bahkan negatif tentang Otonomi Khusus di Papua, juga terjadi di kalangan pejabat Pemerintah dan anggota-anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Padahal mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar, jelas dan tegas. Hal seperti itu akan sangat menghambat upaya sosialisasi tentang Otonomi Khusus ke tengah-tengah masyarakat Papua.
Kedua, masalah saling tidak percaya (distrust). Segala penderitaan yang dialami oleh masyarakat Papua, pelanggaran HAM, pembunuhan, penindasan, intimidasi, ketidakadilan, dan diskriminasi telah membawa sebagian masyarakat Papua kepada suatu kekecewaan yang sangat dalam. Kekecewaan demi kekecewaan telah membawa mereka untuk tidak percaya lagi kepada NKRI. Mereka tidak percaya bahwa masih ada ruang bagi perbaikan dan karena itu mereka memilih alternatif untuk berpisah dari NKRI.
Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang juga memberikan otonomi kepada Provinsi Papua, telah membuat sebagian rakyat Papua sudah tidak percaya lagi terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh pemerintah RI. Mereka beranggapan bahwa untuk keluar dari penderitaan seperti itu, adalah hak mereka untuk menentukan nasib masa depannya sendiri.
Pada sisi yang lain, dari pihak pemerintah pusat, ada kalangan atau pejabat tertentu yang curiga atau khawatir bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus akan lebih mendorong perjuangan rakyat Papua untuk merdeka (dalam arti memisahkan diri dari NKRI). Lebih ironis lagi bahwa sejumlah pejabat orang asli Papua yang selama ini justru berperan sebagai penengah, juga dicurigai tanpa bukti dan data yang akurat.
Dengan demikian, salah satu masalah utama dalam implementasi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus di Papua adalah masalah saling tidak percaya antara satu sama lain. Ketiga, sangat lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP, Perdasi, Perdasus). Hingga Juni 2003, sudah lebih dari satu setengah tahun sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi, dan Perdasus) yang ditetapkan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Salah satu penyebab utama dari kelambatan tersebut adalah bahwa Tim Inti yang terdiri dari para intelektual Papua yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dilibatkan secara utuh dan penuh dalam penyusunan draft rancangan peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut.
Tanpa keterlibatan Tim Inti (Tim Asistensi) tersebut tidak saja menyebabkan proses itu menjadi lambat, tetapi bisa terjadi missing link antara nilai-nilai dasar dan norma-norma dasar yang diatur dalam undang-undang tersebut untuk kemudian diterjemahkan/dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Bukan tidak mungkin terjadi misinterpretasi, misunderstanding dan misperceptionterhadap undang-undang tersebut. Pada gilirannya konsep-konsep dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya (PP, Perdasi, Perdasus) akan bias/menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma dasar yang tertuang dalam undang-undang tersebut.
Keempat, masalah penyerahan kewenangan dan sumber daya yang tidak konsisten dan setengah hati oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Kita semua memahami bahwa menyerahkan semua kewenangan dan sumber daya yang selama ini dikelola oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, bukanlah hal yang mudah, walaupun atas perintah undang-undang. Dalam banyak hal Pemerintah Pusat (dalam hal ini departemen tertentu) belum siap secara mental untuk menyerahkan semua kewenangan dan sumber daya yang dimilikinya.
Bahkan ada kewenangan tertentu yang sudah diserahkan, tetapi kemudian ditarik kembali, sehingga terjadi kondisi “tarik ulur” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Hal lain adalah persiapan secara administratif, struktural dan fungsional dari pihak yang menyerahkan dan pihak yang menerima, belum diatur secara jelas oleh Pemerintah Pusat sehingga memperlambat bahkan menghambat proses penyerahan itu sendiri. Dalam hal ini Pemerintah Pusat tidak konsisten untuk melaksanakan urusan-urusan penyerahan, sesuai dengan perintah undang-undang.
Kelima, masalah kesiapan Pemerintah Daerah untuk menerima dan mengambil alih kewenangan, sumber daya, tugas dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat. Kita semua memahami bahwa Pemerintah Daerah belum siap, dalam arti kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan manajemen yang dimilikinya belum memadai untuk memikul dan mengemban kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat.
Akibat dari kekuasaan yang sangat sentralistik pada waktu yang lalu telah membentuk Pemerintah Daerah yang kerdil dan sangat bergantung dari subsidi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, sehingga cenderung untuk mematikan inisiatif dan kreativitas Pemerintah Daerah. Hal-hal seperti itu telah ikut menghambat upaya-upaya pemberdayaan Pemerintah Daerah. Demikian juga intellectual resources (think thank) yang sangat terbatas untuk menyusun/merumuskan konsep-konsep kebijakan, strategi dan program-program pembangunan daerah yang tepat dan berguna/bermanfaat bagi seluruh rakyat merupakan suatu masalah tersendiri.
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah pengawasan, transparansi dan akuntabilitas, yang juga belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga membuka peluang/kesempatan untuk terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin berkembang di daerah-daerah. Hal-hal tersebut akan menghambat upaya-upaya untuk mengembangkan suatu pemerintah yang baik dan bersih (clean and good governance) di daerah-daerah.
Penulis adalah mantan Gubernur Irian Jaya. Tulisan ini diangkat dari makalah yang disampaikan di Denpasar Bali/Jakarta, 15-18 2003 sebagai anggota “study group” dari East-West Center Project on the Dynamics and Management of Internal Conflicts in Asia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!