Jumat, 27 Maret 2015

PENGAKUAN EKSISTENSI MANUSIA APLIM APOM-PEGUNUNGAN BINTANG

BAGIAN PERTAMA
Tujuan utama adanya pemerintahan Kabupaten Pegunungan Bintang adalah bentuk pengakuan Pemerintah Republik Indonesia terhadap eksistensi manusia dan segala isi alam semesta. Untuk mengakui dan mereposisi eksistensi manusia, suku bangsa yang sudah ada sejak dahulu kala dan yang telah memiliki otoritas tanah dari leluhurnya secara turun temurun. Dari ratusan suku bangsa di Papua sebagian besar terdapat di wilayah kabupaten ini. Suku bangsa OK dan Suku ME sebagai suku terbesar dengan otoritas wilayah cukup besar di poros (centre) pulau Papua yang terbentang dari Sorong sampai Samarai wilayah negara Papua New Guinea. Suku bangsa OK mendiami mulai dari ibukota kabupaten dan menyebar ke bagian Timur dan Selatan. Suku bangsa OK di bagian Timur merupakan warga negara PNG, sedangkan bagian Selatan termasuk wilayah kabupaten Boven Digoel dan Mappi. Sementara suku bangsa ME mendiami di bagian Barat dari ibukota kabupaten dengan memiliki puluhan sub suku. Suku bangsa ini menyebar sampai di wilayah Kabupaten Yahukimo, Keerom dan Kabupaten Jayapura.
Eksistensi suku bangsa ini telah ada sejak terbentuknya pulau Papua. Mereka hidup dan mengakui tanah, air, dan segala isinya sebagai ciptaan atangki (Allah) dan diperuntukkan bagi segala makhluk yang ada di bumi. Mereka mengakui manusia sebagai makhluk yang paling hakiki dan yang menguasai tanah dan segala isinya. Manusia menggunakan akal budi untuk mengendalikan tiap peristiwa kehidupan dalam hidupnya. Manusia yang berakal budi itu benar adanya pria dan wanita sebagai pengada di bumi, mereka saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Mereka ada sebagai pemilik dan penguasa atas otoritas tanah dan isinya secara jelas adanya. Mereka mengakui dan memiliki hak hidup masing-masing  dan saling menghormati.
Secara geografis, suku bangsa tersebut berada pada jarak yang sangat berjauhan bahkan tidak saling mengenal. Fenomena ini sudah menjadi perhatian para peneliti tingkat dunia sejak lama, namun pemerintahan yang ada tidak dengan serius melakukan kajian dan membuat program pembangunan sesuai dengan kondisi dan situasi di wilayah ini. Sebagaimana seharusnya potensi SDM dan SDA yang ada amat penting dikaji secara menyeluruh sebagai modal utama pembangunan daerah. Dimana Pegunungan Bintang menyimpan beragam potensi sumber daya alam yang harus dimanfaatkan selama proses pembangunan daerah, seperti: bahan galian, beragam jenis batuan, kayu pinus dan damar, rotan, beragam jenis anggrek, beragam pandanus “buah merah”, tanaman palawija, beragam jenis umbi-umbian, sederet sungai, beragam jenis ternak, kopi organik, hasil-hasil kerajinan dan kesenian, beragam jenis tarian tradisional, makanan khas, beragam jenis hewan lindung dan lain-lain. Kelimpahan kekayaan alam tersebut harus dikelola dengan bantuan modal kualitas SDM handal dan didukung dengan alat-alat teknologi yang canggih tetapi sejauh ini pemerintah daerah belum memiliki strategi yang tepat dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional secara berkesinambungan. Pembangunan yang berkelanjutan itu tidak lain adalah membangun manusia terlebih dahulu.
Pembangunan Pegunungan Bintang sebagai wilayah pemekaran baru harus selalu berfokus pada manusia. Manusia menjadi fokus utama di dalam proses pembangunan daerah dan sudah tentu pendidikan sebagai baromternya. Makna pembangunan Kabupaten Pegunungan Bintang sesungguhnya pembangunan manusia seutuhnya melalui pendidikan dasar. Karena itu, pembangunan pendidikan dasar harus dijadikan prioritas utama dalam proses pembangunan manusia. Pendidikan harus menjadi alat ukur, barometer utama selama proses pembangunan manusia. Berbagai aspek pembangunan bisa berjalan apabila potensi manusia dapat dicerdaskan. Hal terpenting adalah masayarakat asli Pegunungan Bintang dapat diestimasi secara kasar maka antara 80%-90%) masyarakat asli tidak berpendidikan. Kondisi objektif ini sudah sangat jelas tidak akan mendukung proses pembangunan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional maupun roh dari pemberian otonomi khusus bagi provinsi Papua. Oleh karena itu, seluruh dana pembangunan pada setiap tahun lebih banyak dianggarkan untuk membangun manusia melalui pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, termasuk menyediakan sarana dan prasana pendidikan yang memadai.
BAGIAN DUA
KINERJA PEMERINTAH  PEGUNUNGAN BINTANG SECARA UMUM
Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik dan berwibawa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B  yang dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah untuk menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia dengan pelayanan publik (public service), serta mencapai tujuan pembangunan nasional (Development Goal National) yaitu mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sesuai dengan alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945.  Namun kenyataannya tidak demikian,  penyelenggaraan pemerintahan yang buruk di Papua telah berdampak besar terhadap segala aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Sejak wialyah Pegunungan Bintang dimekarkan menjadi sebuah Kabupaten dari Kabupaten Jayawijaya, proses pembangunan berjalan amat sangat lamban. Akibat dari itu Indeks Pembangunan Kesehatan  Masyarakat (IPKM) ranking 440 dari 440  kabupaten/kota di seluruh Papua, sebuah pencapaian mengenaskan. Untuk IPM di Papua, Kabupaten Pegunungan Bintang masih dibawah Kabupaten Tolikara, Asmat, Mappi,   dan Yahukimo pada hal beberapa kabupaten tersebut  dimekarkan pada saat bersamaan melalui UU No. 26 Tahun 2002, kecuali kabupaten Dogiyai dan Lanny Jaya dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 namun IPM lebih baik dibanding kabupaten Pegunungan Bintang.  IPM untuk kabupaten Pegunungan Bintang angka harapan hidup 66.00 %, angka melek huruf 32.50 %, rata-rata lama sekolah  2.54 %. pengeluaran perkapita disesuikan 588.02 % dan IPM 49.45.

Diperparah lagi dengan kalangan elit birokrat dan politik yang menamakan diri intelekual tanah Aplim Apom (Pegunungan Bintang), tinggal  menetap  di Jayapura. Mereka membeli rumah-rumah  pribadi, membeli tanah,  membeli fasilitas mewah seperti mobil, motor,  dan segala kekayaan lain disediakan di Jayapura sedangkan di Pegunungan Bintang hanya sebagai lahan mencari uang sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhannya di Jayapura. Pemerintahan era Drs. Welington Wenda, M.Si dan Yakobus Wayam S.IP, M.Si sebagai wakil bupati tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan pembangunan sealam 3 tahun menjabat. Setelah mereka memenangkan pertarungan politik pada pemilihan Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang periode 2010-2015. Sepertinya mereka tidak mempunya hati nurani untuk membangun masayarakat Pegunungan Bintang. Hal itu terlihat dari Bupati (Drs. Welington Wenda,  M.Si) kembali mencalonkan diri pada pemilihan gubernur Papua. Sejak tahun 2010 hingga memasuki pertengahan tahun 2013, Bupati tidak menunjukkan diri sebagai kepada daerah bahkan sudah mau memasuki tahun ke 3 Bupati tidak berperan dalam pembangunan Kabupaten Pegunungan Bintang. Milyaran dana pembangunan yang dianggarkan setiap tahun tidak ada tanda-tanda pembangunan yang signifikan, fasilitas listrik, air bersih, infastruktur jalan dan jembatan di ibukota kabupaten belum dibangun baik, apalagi kondisi secara umum, tentunya sangat memprihatinkan. Masyarakat Pegunungan Bintang lebih merasakan pembangunan dana PNPM Mandiri dan Respek. Sedangkan dana APBD dan Otsus tidak jelas. Pada pihak lain, KPK dan BPK selalu mengadakan pemeriksaan di Kabupaten Pegunungan Bintang tetapi belum pernah ada bukti adanya korupsi. Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah dana tersebut diapakan? Dimana tidak menunjukkan tanda-tanda pembangunan sesuai renstra daerah. Keadaan ini terindikasi ada permainan pemerintah daerah dan pihak penegak hukum di lingkungan pemerintahan, semoga tidak demikian.

Banyak masalah sosial yang terjadi akibat penyelenggaraan pemerintahan yang buruk tersebut. Masalah-masalah sosial ini berjalan secara lambat tetapi mempunyai dampak besar dalam proses pembangunan kabupaten ini maupun berimbas kepada daerah-daerah lain yang sementara ini belum dipraktekan. Sesuai dengan analisis kami bahwa masalah sosial ini akan merusak sendi-sendi kehidupan manusia masyarakat Pegunungan Bintang yang masih hidup dalam kepolosan, amat sangat sederhana dan rata-rata tidak mengenyam pendidikan sekolah. Dapat dipersentasikan bahwa 90% masyarakat Pegunungan Bintang tidak berpendidikan sekolah dan sedang dihadapkan dengan sejumlah masalah sosial. Sudah amat jelas bahwa masyarakat sedang dalam kehancuran. Salah satu kelompok masyarakat yang sedang mengalami kehancuran atas identitas dirinya adalah kaum muda, termasuk para PNS, Politisi, kaum agamawan dan mahasiswa. Sendi-sendi kehidupan manusia Aplim Apom sudah mulai rapuh dan sedang ada dalam ambang kehancuran dengan peraktek-praktek sosial seperti berikut :  

Pengedaran Minuman Keras

Pengedaran minuman keras menjadi masalah tersendiri di kabupaten ini. Akibat dari pemerintahan yang buruk itu berdampak pada aktivitas minuman keras di Pegunungan Bintang semakin hari semakin tumbuh subur. Keadaan ini dimanfaatkan sungguh oleh oknum tertentu untuk berbisnis miras. Pada hal sudah ada larangan pengiriman pasokan miras dari luar Pegunungan Bintang, tetapi masih saja orang mabuk berkeliaran di seputar kota Oksibil. Pada pihak lain, sebenarnya sudah ada penjagaan di Airport untuk memeriksa barang bawaan penumpang tetapi miras dapat lolos dengan mudah, bahkan penegak hukum sendiri adalah pelaku pengedar miras. Lebih fatal lagi, sekarang banyak bahan-bahan lokal yang bisa dibuat menjadi minuman keras, seperti mengelolaan air pisang dan air nanas. Konsumen sejati minuman keras adalah para pengawai negri sipil dari tingkat atas sampai tingkat bawah terutama pegawai asli Papua. Ketika mendapatkan gaji, kebanyakan dari mereka berpesta minuman keras bahkan korban nyawa. Apa jadinya jika seluruh kantor-kantor dipenuhi orang mabuk? Sudah terbukti, orang Pegunungan Bintang pernah berduka  cita karena sekitar 10 lebih orang meninggal dunia akibat minuman keras.

Masalah terkini yang terjadi di Oksibil ibukota kabupaten adalah peristiwa pengrusakan fasilitas umum dan pembakaran kantor Mapolres pada akhir bulan Juni 2013 oleh masyarakat merupakan akibat minuman keras. Hal yang sangat fatal adalah dengan  beredarnya minuman keras dan bahan terlarang lainnya di lingkungan generasi muda Pegunungan Bintang yang masih dibangku studi (SD, SMP dan SMA/SMK) yang diharapkan untuk menjadi tulang punggung pembangunan daerah sudah mulai terjerumus ke dunia ini. Seperti beberapa anak usia sekolah (SD) mengisap lem aibon,  siswa SMP dan SMA/SMK mengisap daun ganja dan  minum minuman keras. Minuman keras terus mewabah di seluruh Pegunungan Bintang karena sikap pemerintah eksekutif dan legislatif yang acuh-tak acuh karena kepentingan politik. Bupati dan Wakil Bupati serta ketua DPRD beserta anggotanya seakan-akan sudah tidak punya hati nurani untuk menyelamatkan manusia Aplim Apom dengan membuat peraturan daerah dan kebijakan strategis lainnya. Apa jadinya jika penyakit sosial tersebut membudaya di daerah ini.

Apabila berpijak pada budaya manusia Aplim Apom bahwa sejak dahulu kala mereka tidak sama sekali mengkonsumsi minuman yang beralkohol. Tidak ada jenis minuman atau makanan yang dapat memabukan. Mereka hanya bisa meminum air yang keluar dari mata air alam, selain dari itu tidak ada jenis minuman sebagaimana sesama kita dari wilayah pantai yang bisa meminum saguer dari air kelapa. Mereka hidup dalam keadaan yang sangat terawat sesuai dengan kondisi alamnya. Mereka memahami batas-batas kewajaran hidup yang terus dipertahankan secara turun temurun dan memang mereka sungguh menghargai kehidupannya. Berbeda dengan manusia Aplim Apom sekarang bisa dikatakan sedang dalam kebimbangan memiliki budayanya, karena mengalami sock culture yang sungguh mematikan dan memang tidak akan pernah berdaya sebagai manusia di masa yang akan datang. Keadaan ini menjadi pukulan berat bagi kami yang menyadari akan identitas diri sebagai manusia sejati yang ditempatkan Allah di daerah ini dengan otoritas wilayah beserta kekayaannya. Kebiasaan mabukan-mabukan dengan meminum minuman keras merupakan bagian dari penghancuran jati diri manusia Aplim Apom dan keutuhan manusia Papua sehingga harus menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, para pemimpin daerah harus memiliki regulasi yang tegas dan permanen dan bertanggung jawab.

Perlu menyadari bahwa minum minuman keras adalah praktek penghancuran rumah tangga dan menciptakan masalah-masalah sosial yang amat sangat sulit untuk diatasi. Contoh penghancuran rumah tangga dan penyebaran penyakit HIV/AIDS di Pegunungan Bintang yang diperkirakan akan musnah pada tahun 2030 hanya karena tidak bisa hidup teratur. Terbukanya budaya luar dan siapa saja bisa melakukan apa saja sesuka hatinya tanpa mempertimbangkan akibat buruk yang akan diterimanya. Siapa yang harus atas realitas ini?

Judi Toto Gelap-TOGEL

Judi Toto Gelap tumbuh subur dan sekarang tidak lagi “Judi Toto Gelap (Togel)” tetapi “Judi Toto Terang (Toter)” karena realita yang ada lapangan. Kebanyakan masyarakat yang ada di ibukota kabupaten dan provinsi hidup dari hasil judi togel. Terkesan togel seperti bisnis yang legal secara hukum, karena sampai sekarang dari pihak pemerintah dan penegak hukum belum pernah melarang masyarakat bermain judi togel. Masyarakat Pegunungan Bintang yang berada di Jayapura dan di Oksibil, mayoritas Pegawai Negeri Sipil dari golongan atas sampai bawah, menjadikan togel sebagai lahan garapannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk bermain togel, kisaran pengeluaran sampai jutaan rupiah. Dapat dibayangkan gaji pegawai negri perbulan hanya seberapa saja tetapi dalam waktu satu hari saja bisa mengeluarkan uang jutaan rupiah. Di Oksibil pelaku penegak hukum juga turut bermain dan berbisnis togel, anggota DPRD yang seharusnya punya kewenangan  legislasi sudah termasuk pemain judi togel.

Kondisi sekarang di  Pegunungan Bintang tidak ada orang yang punya power untuk mengakhiri segala jenis kegiatan yang melanggar hukum. Permainan judi togel sah-sah saja karena pemerintah belum mampu menyediakan lahan kerja yang layak dan legal untuk masyarakat. Pemerintah era sekarang terkesan membiarkan judi togel kian mewabah, apakah karena faktor ketidakmampuan ataukah pemerintah sendiri sebagai pelaku utama sehingga tidak mau mengakhiri perbuatan melanggar hukum tersebut? Dampak dari judi togel adalah secara sadar atau tidak sadar akan membentuk manusia Aplim Apom yang mentalitas gampangan (maunya yang instan), membentuk manusia bermental konsumtif,  membentuk manusia yang lemah secara intelektual karena tidak dipacuh dengan pekerjaan yang menantang dan sejenisnya. Dengan demikian persoalan togel bukan persoalan makan dan minum tetapi lebih pada  pertaruhan harga diri manusia Aplim Apom.

Maraknya Pembelian Ijazah Dan Gelar

Maraknya pembelian ijazah dan gelar palsu bertumbuh subur di Papua, khususnya Kabupaten Pegunungan Bintang. Dari segi aspek pendidikan, hal tersebut tidak dapat dianggap wajar. Pendidikan berorientasi  pada proses, bukan hasil. Proses membuahkan hasil, tetapi hasil baik belum tentu dari proses yang baik. Lapangan kerja memerlukan aplikasi dari proses yang didapat saat menempuh  pendidikan. Proses yang buruk memberi hasil yang buruk. Dari segi lapangan pekerjaan, memang hal ini cukup sulit untuk dipungkiri. Saat ini, dunia kerja sangat menuntut tingkat pendidikan yang tinggi. Jauh lebih berbahaya membeli ijazah, sebab saat bekerja, peluang bahwa kemampuan seseorang diragukan oleh atasan akan sangat besar, dibandingkan orang yang benar-benar kuliah. Selain itu, kenaikan penghasilan pun siap menunggu. Pembelian ijazah dan gelar palsu menjadi rahasia umum bagi masyarakat Pegunungan Bintang. Ada beberapa pejabat eksekutif dan legislatif, mahasiswa dan pelajar, masyarakat umum tanpa proses pendidikan tiba-tiba mendapatkan ijazah dan menggunakan gelar palsu. Kasus konkrit ada beberapa mahasiswa program beasiswa Pegunungan Bintang  telah membeli ijazah dan rata-rata orang Papua sudah tahu akan hal ini. Keadaan yang sungguh amat sangat memalukan nama baik diri, keluarga, marga dan daerah.
Kita sebagai manusia yang dewasa dan berada di era yang sangat menantang dari segi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perlu memiliki kesadaran dalam memilih tawaran pemberian ijazah dan gelar mendadak oleh perguruan tinggi tertentu di Indonesia. Bagaimana pun juga suatu waktu akan diproses dan reputasi akan seperti apa? Dunia kerja zaman sekarang dibutuhkan orang-orang yang trampil sesuai dengan bidang ilmu yang pernah dipelajarinya semasa studi. Memiliki ijazah dan gelar akan teraktualisasi, tercermin dari pekerjaan dan perilakunya. Pemerintah melalui dinas terkait harus bertanggung jawab atas praktek pembunuhan karakter diri dan generasi muda Pegunungan Bintang dan Papua. Ingat selalu bahwa siapa saja yang tidak melalui proses pendidikan yang benar, maka dia adalah salah satu orang yang berhasil melalukan pembodohan terhadap generasi muda dan dia juga yang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menguasai tanah adat di Pegunungan Bintang.

Pendidikan Jarak Jauh Dan Kerja Sama Pemerintah Pegunungan Bintang Dengan Universitas Terbuka Dan Universitas Cenderawasih

Pemerintah daerah dengan gampangnya mengijinkan sejumlah pegawai menjalani pendidikan jarak jauh. Bagaimana kualitas out putnya? Menyiapkan manusia itu tidak semudah membalikan telapak tangan dan harus butuh proses. Proses pendidikan semacam ini sungguh tidak mendidik, tidak memanusiakan manusia dan lebih dimengerti sebagai suatu pembodohan secara tersistem dan regenerasi. Kelompok orang yang dikooptasi dalam satu permainan yang amat sulit untuk dipecahkan. Proses pendidikan semacam ini memang sangat buruk, tetap muka dengan dosen tidak ada dan hanya diberikan buku-buka panduan untuk belajar mandiri, mahasiswa hadir pada saat-saat ujian semester. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah guru, lebih mengerikan lagi guru PGSD yang adalah penentu kualitas pendidikan dan perkembangan anak sejak dini, memang amat sangat memprihatinkan atas pembiaran ini. Melalui pendidikan jarak jauh telah meluluskan banyak orang, baik para pejabat di legislatif dan eksekutif, mahasiswa murni, dan pegawai negeri biasa. Mereka mearsa bahwa dengan mendapatkan gelar sarjana telah menjamin meningkatknya karier, bagi mereka gelar adalah harga dirinya. Tetapi sesungguhnya belum memahami kalau dalam keadaan yang sama pihak ketiga sedang berada bersama dan menipudayakan mereka dengan habis-habisan. Pada satu segi mereka tidak mampu mengalanalisis masalah secara ilmiah tetapi hanya bisa bicara, bicara dan bicara.

Dapat dibayangkan  jika dilingkungan pemerintahan semua diisi oleh orang yang lemah secara intelektual (tidak berkualitas). Mari kita saksikan di lingkungan anggota DPRD kita pada periode ini, sepertinya sebagian besar berasal dari proses pendidikan yang tidak jelas, sehingga tidak mampu mengontrol eksekutif. Adalah salah satu bentuk kebijakan yang tersistim untuk menipudayakan manusia Papua, khususnya Pegunungan Bintang. Sangat disayangkan kebijakan seperti ini, karena sadar atau tidak sadar pemerintah daerah telah ikut terlibat dalam  tindakan pembodohan kepada masyarakat secara sistematis.  Menempuh pendidikan harus butuh waktu yang lama, karena itu pendidikan jarak jauh dan sejenisnya harus dihentikan. Kami menegaskan bahwa orang Pegunungan Bintang butuh kualitas yang handal dan bukan kuantitas. Orang Pegunungan Bintang bersama pemerintah harus sadar dan memiliki kebijakan terfokus untuk menginvestasikan dana besar dan membutuhkan waktu untuk mencetak sumber daya manusia yang berdaya saing global.
Penyebaran Virus HIV/AIDS

Penyebaran Virus HIV/AIDS di Kabupaten Pegunungan Bintang semakin hari semakin meningkat. Celakanya adalah yang terkena virus mematikan ini lebih banyak adalah putra/i Aplim Apom yang masih berusia produktif yang adalah generasi penerus pembangunan dan simbol eksistensi manusia Aplim Apom. Bila tidak diantisipasi dengan  baik maka akan  meningkat terus dalam beberapa tahun mendatang,  akhirnya kita akan mati semua termakan virus ini. Pemerintah daerah benar-benar tidak serius dalam menangani penyakit ini. Sampai sekarang pemerintah tidak menghiraukan realitas yang sudah dapat menelawan korban jiwa secara menahun. Juga tidak berpikir untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit ini. Sadar atau tidak sadar pemerintah daerah sendiri telah menjadi fasilitator untuk penyebaran virus mematikan ini di Pegunungan Bintang. Sebagaimana dalam sejumlah penelitian memperkirakan manusia Pegunungan Bintang akan habis dalam jangka waktu yang tidak lama, karena jumlah penduduk hanya berkisar antara 8.000-9.000 orang. Sementara jumlah orang yang sudah positif HIV/AIDS mencapai 200 orang. Kita menggunakan perbandingan rumus resmi maka 1:100 orang. Dengan demikian orang Pegunungan Bintang yang sudah terkena virus ini adalah 200 : 100 = 2000 orang. Keadaan yang sungguh amat memprihatinkan akan keselamatan manusia Pegunungan Bintang.

Degradasi Budaya Lokal

Arus globalisasi memberikan dampak besar terhadap perubahan pada budaya lokal. Perubahan itu tentu akan menghilangkan keasliannya. Sudah mulai mengalami degradasi secara besar-besaran dan hal itu belum dirasakan oleh sebagian besar orang. Budaya luar sudah kian menguasai dan mengikis eksistensi budaya Aplim Apom yang sarat makna. Fenomena remaja maupun orang zaman kini lebih senang dengan budaya luar dibanding budaya lokal. Dampaknya moralitas dan mentalitas orang Aplim Apom semakin hari semakin hancur, karena orang lebih banyak terjerumus dalam hal-hal negatif. Permainan politik justru membangun budaya luar yang dapat menghancurkan tatanan kekerabatan yang sudah terbangun sejak lama. Hal ini dikonkritkan dari kemenangan dan kekalahan pemilihan kepala daerah, pihak yang menang justru mendominasi semua jabatan struktur pemerintahan sedangkan pihak kalah atau lawan politik tidak diperhitungkan dalam proses pembangunan, sekalipun mereka termasuk kelompok pemikir pembangunan daerah. Selain itu, pimpinan DPRD bersama sebagian besar anggota tinggalkan tugas dan berada di kota-kota dengan berbagai alasan, sehingga mahasiswa pun harus mulai bicara.

Daerah Pegunungan Bintang sebagai daerah pedalaman yang masih memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan suku bangsa lain di Papua. Pemerintah merupakan salah satu pihak yang punya andil dalam berbagai persoalan mengenai pelestarian budaya lokal untuk mempertahankan eksistensi manusia Aplim Apom. Namun sampai dengan sekarang pemerintah tidak jelih melihat budaya sebagai suatu keharusan. Dinas pariwisata tidak melakukan apa-apa terkait tantangan arus globalisasi. Tidak mendukung dewan adat daerah untuk menginfentarisir permasalahan kebudayaan  manusia setempat dan membina busaya daerah sebagai aset bangsa yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Pemerintah belum memiliki desain besar untuk pengembangan budaya daerah dan filter budaya luar secara benar.

Perekonomian Daerah

Perekonomian daerah sangat memprihatinkan, bila dilihat memang sangat menyedihkan bahwa para pedagang di Oksibil masih di dominasi oleh para pendatang. Sedangkan masyarakat asli Pegunugan Bintang hanya menjual hasil bumi ala kadarnya saja. Dapat diperparah lagi dengan belum adanya peraturan daerah (Perda)  tentang harga barang dan jasa. Kondisi ini amat sangat menjanjikan bagi para pebisnis dengan leluasanya menaikan dan menurunkan harga barang. Harga barang dan tiket pesawat yang disubsidi oleh pemerintah daerah hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu sehingga masyarakat masih mengalami kesulitan dalam distribusi barang dari Jayapura ke Pegunungan Bintang. Secara diam-diam beberapa oknum pegawai negri sipil, dari level atas sampai bawah, pihak legislatif,  dan istri-istri pejabat telah memiliki badan usaha seperti CV/PT dan memberikan kewengan kepada pihak lain untuk mengelolanya. Dengan berbagai cara yang tidak terpuji selalu meloloskan  setiap proyek di Pegunungan Bintang. Pada hal berdasarkan peraturan perundang-undangan pegawai negri tidak diperkenankan untuk mendirikan usaha-usaha lain selain tugas pokoknya. Dengan demikian pihak eksekutif terutama Bupati dan Wakil Bupati dan pihak legislatif terutama ketua DPRD tidak punya niat baik untuk memberdayakan masyarakat berbasis ekonomi kerakyatan. Kemudian Bupati dan Wakil Bupati tidak tegas terhadap oknum-oknum bawahannya yang sering melanggar peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan melalui perudangan-undangan dan peraturan-peraturan daerah.

Pengalihan Profesi Guru

Kebijakan Bupati yang sangat kontroversial adalah pengangkatan guru-guru sekolah dasar menjadi kepala-kepala distrik. Kebijakan tersebut dari sisi regulasi undang-udang otonomi khusus Nomor 21 Tahun 2001 menjamin tentang pemberdayaan orang asli Papua. Akan tetapi bertolak belakang dengan semangat undang-undang otonomi khusus tentang pengembangan sumber daya manusia Papua. Dilihat dari IPM Indonesia, Papua masuk rangking terakhir dari sejumlah provinsi yang ada dan untuk Pegunungan Bintang IPMnya masih sangat memprihatinkan. Kekurangan guru-guru adalah persoalan lama sejak periode pertama kepemimpinan Drs. Welington Wenda, M.Si dan Drs. Theodorus Sitokdana. Untuk memenuhi kebutuhan guru-guru, pernah diprogramkan pelatihan-pelatihan guru-guru di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Surya Institut dan program PGSD di Universitas Cenderawasih. Namun semangat pembangunan manusia  tersebut tidak  dilanjutkan hingga sekarang, malah guru-guru lama yang sangat loyal, dengan hati yang tulus dan iklas mencerdaskan orang Aplim Apom tiba-tiba diangkat menjadi kepala distrik.  Pengangkatan tersebut pun sarat dengan kepentingan politik.

Dampak ketiadaan guru-guru SD terlihat dari hasil perkembangan siswa diakhir-akhir ini. Kualitas lulusan sangat jauh rendah dari pada tahun-tahun sebelumnya. Guru adalah kunci keberhasilan suatu daerah bahkan bangsa sehebat apa pun di dunia. Guru sebagai tolok ukur kemajuan manusia dan kemajuan segala aspek pembangunan, maka guru menjadi prioritas pemerintah dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Fokus pembangunan harus mulai dari guru, sarana dan parasarana pendidikan untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia secara continue.

Jabatan Bendahara Umum

Jabatan bendahara umum masih dipertahankan sampai sekarang, pada hal banyak pihak mengeluh atas sikap dan perilaku seorang bendahara yang adalah anak asli daerah tetapi tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang baik.  Keuangan daerah seolah-olah dikendalikan oleh bendahara umum tetapi tidak jelas, seperti selalu menahan biaya studi ke lembaga-lembaga kerja sama. Dana yang diperuntukan untuk pendidikan disimpan oleh bendahara umum sehingga masyarakat, mahasiswa dan pihak mitra pemerintah selalu kecewa dengan sikap bendahara yang tidak menunjukan sikap kedewasaan. Sikap dan peralaku seoarang bendahara umum tersebut telah menunjukkan secara kompetensi bidang yang diembannya masih diragukan. Akibatnya, citra dan trust Kabupaten Pegunungan Bintang di mata mitra kerja sama di Indonesia semakin hari-semakin luntur. Konkritnya kebijakan khusus seperti  memo  dari Bupati atau Sekda untuk bantuan biaya pendidikan selalu diputuskan oleh bendahara umum, seolah-olah dialah yang pemegang kekuasaan tertinggi.  Sadar atau tidak sadar bendahara umum telah menunjukkan sikap arogansi yang sungguh memalukan dan sangat fatal. Apakah ada kepentingan terselubung dibalik pekerjaan seorang bendahara umum selama ini? Marilah kita analisis bersama-sama mengungkap apa saja yang dilakukan oleh bendahara umum, termasuk mengecek semua perusahaan di seluruh wilayah Papua.

Kenyataan yang dialami beberpa mahasiswa bahwa setiap nota yang dikeluarkan oleh Bupati atau Sekda dengan jumlah uang, misalnya sebesar 20 juta maka dia berikan hanya 10 juta dengan meminta kepada mahasiswa untuk tidak membubuhkan tanda tangan atau jumlah uangnya pada kuitansi yang dipersiapkan. Lalu uang 10 juta diapakan? Bukankah ini merupakan suatu penipuan dan pengambilan hak orang lain? Orang semacam ini perlu diberikan pembinaan secara khusus agar memiliki hati nurani.

Mempertahankan Sekda Dari Segi Keluarga

Bupati masih mempertahankan Sekda, sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan orang Pegunungan Bintang bahwa Bupati dan Sekda adalah keluarga dekat (pangkat om dan anak). Pernah ada demo menuntut Sekda mundur dari jabatannya karena pelayanannya yang buruk.  Sikap emosional yang tidak terkontrol adalah ciri khas dari Sekda, bahkan ada beberapa  mahasiswa, masyarakat, para pejabat dapat pukulan dari sikap tidakdewasaan seoarang Sekda tersebut. Akibat ulah tersebut pernah didemo menuntut harus mundur dari jabatanya,  dari serangkaian aksi tersebut Bupati telah menyetujui untuk menggantikan Sekda yang baru, tetapi entah mengapa sampai sekarang Sekda belum tergantikan. Bahkan ketika Bupati mencalonkan diri jadi gubernur provinsi Papua, kekuasaan seolah-olah secara otomatis jatuh ke tangan  Sekda. Segala persoalan daerah dikendalikan semua oleh seorang Sekda, padahal masih ada Wakil Bupati yang bisa merangkap tugas seorang Bupati. Sebenarnya secara kemampuan perlu dipertanyakan karena segala keputusannya terkesan seperti kekanak-kanakan. Sekda telah menunjukan ketidakmampuan secara pengetahuan maupun kepemimpinan dalam menjalankan roda pemerintahan, seketika Bupati berkeliling Papua sebagai calon gubernur dan Wakil Bupati menjalani kuliah di Jayapura. Hubungan antara Sekda dengan wakil Bupati maupun kepala-kepala Dinas tidak tercipta. Apakah ada kepentingan terselubung dibalik pekerjaan seorang Sekda selama ini?

Kepala Keuangan Daerah Masih Dipertahankan

Mengapa Kepala Keuangan Daerah masih dipertahankan hingga sekarang, pada hal pernah diumumkan kepada publik bahwa kepala keuangan daerah bermasalah dan dipecat. Hal ini diumumkan dipublik karena desakan dari masyarakat agar segera diganti. Kejadian yang sama menimpa Kabag keuangan Pegunungan Bintang karena pelayanannya yang kurang baik, PNS melakukan aksi protes atas sikap dan perilaku Kabag yang selalu merugikan banyak orang.  Ketika ada memo dari Sekda, Bupati/Wakil Bupati untuk pemberian bantuan dana selalu saja Kabag keuangan melakukan perbuatan yang tidak terpuj. Memotong setengah dana  dari keseluruhan dana yang diasesehkan dengan alasan untuk harga tanda tangan. Perbuatan tersebut terus menurus dilakukan,  sehingga dari  berbagai pihak yang  merasa dirugikan melakukan aksi menuntut mundur dari jabatan Kabag. Aksi tersebut mendapat tanggapan positif dari Bupati, tetapi kenyataanya sampai sekarang belum juga diganti.  Apakah ada kepentingan terselubung dibalik pekerjaan seorang Kabag tersebut?

Wakil Bupati Tidak Pernah Ada di Oksibil

Wakil Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang yang adalah putra daerah Aplim-Apom selalu diam dalam seribu bahasa “diam seribu diam”. Beliau lebih memilih menyibukan diri dengan segala urusan pribadinya dibanding mengurus masyarakatnya, kepentingan daerah tidak diperhatikan. Tidak menjalankan segala urusan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Menurut pengakuan masyarakat di Oksibil, Wakil Bupati sangat jarang ada di Oksibil, selalu keluar ke Jayapura-Jakarta dan Jayapura-Papua New Gunea, entah urusan daerah atau urusan pribadi. Masyarakat yang berkepentingan dengan wakil bupati sulit menemuinnya. Tidak jelas apa yang dikerjakan selama dalam 3 tahun berjalan ini. Ketika di depan banyak orang, sering buat menjanjikan  namun tidak dapat diwujudkan. Misalnya ketika mengunjungi mahasiswa di Yogyakarta, beliau mengatakan “Saya datang bukan sebagai Wakil Bupati  tetapi datang sebagai orang tua kalian”. Sudah melakukan dua kali kunjungan ke mahasiswa Jawa  dan menyampaikan hal yang sama. Dalam kunjungan tersebut hal kontraversional yang dinyatakan adalah membatalkan pengiriman calon mahasiswa  ke lembaga-lembaga yang sudah dikerjasamakan, seperti Universitas Sanata Dharma, Universitas Gadjah Mada, STPMD, STTL Yogyakarta; Surya Institut di Jakarta dan Yayasan Binterbusih Semarang.

Dalam penyampaiannya di Universitas Sanata Dharma, Wakil Bupati mengatakan  “Ini bukan program Theodorus Sitokdana tetapi program pemerintah daerah jadi tetap akan jalan, anak-anak jangan khawatir, tetap semangat dalam belajar. Anak-anak yang sudah kami kirim ini selesaikan kuliah dahulu, nanti kami lihat hasil baru akan ada pengiriman lagi”, katanya. Berdasarkan analisis kami, pernyataan Wakil Bupati telah mencederai semangat otonomi khusus Papua yang sedang konsen terhadap sumber daya manusia Papua. Pembatalan pengiriman sudah terjadi 5 tahun terhitung sejak tahun 2008. Artinya sama dengan Pegunungan Bintang sudah tertinggal 50 tahun  dalam mempersiapkan SDM Papua dari Pegunungan Bintang. Pengembangan sumber daya manusia harus terencana dan continue dalam jangka waktu  50-100 tahun, berhenti ketika semua orang di Papua khususnya Pegunungan Bintang benar-benar cerdas. Sampai kapan Bapak yang terhormat akan mengaku diri sebagai Wakil Bupati  dan menjadi simbol eksistensi orang Aplim Apom? Semoga  saja harapan semua elemen di daerah bisa direstui dengan  kebijkan-kebijakan yang terarah. Semua  persoalan mendasarkan yang dialami oleh orang Aplim-Apom ditanggapi dengan cepat dengan cara yang tepat. Misalnya peristiwa pembakaran Mapolres Oksibil, maraknya miras dan judi togel di Pegunungan Bintang adalah tugas berat Wakil Bupati sebagai anak adat Aplim Apom. 

DPRD Pegunungan Bintang Tidak Menegakkan Tugas Pengawasan.

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi statisnya pembangunan di Pegunungan Bintang adalah anggota DPRD yang selalu pasif dan tidak melakukan fungsi pengawasan dan legislasi sebagai mana mestinya. Seluruh anggota DPRD  bertempat tinggalnya di Jayapura, ketika saat-saat sidang anggaran mereka berbondong-bondong ke Oksibil, seolah-olah  Pegunungan Bintang sebagai lahan subur untuk mendatangkan uang. Mereka selalu urusan di Jayapura dan  Jakarta tanpa agenda yang jelas, seolah-olah mereka seperti anggota DPR RI. Hampir  setiap bulan mereka selalu di Jakarta, entah kegiatannya apa belum tahu pasti, tetapi menurut informasi yang didapatkan dari beberapa mahasiswa di Jakarta. Kebanyakan pejabat yang menjalankan tugas di Jakarta, datang  hanya untuk berpesta pora dengan istri simpanan atau perempuan-perempuan seks komersial,  berada di bar dan minum mabuk berhari-hari, perjudian, bilyard dan sebagainya. Semoga saja anggota DPRD Pegunungan Bintang tidak demikian. 

Menurut penelitian salah satu mahasiswa pascasarjana dari Pegunungan Bintang, secara kualifikasi pendidikan rata-rata anggota DPRD sekarang  adalah lulusan S1- ke bawah. Dengan demikian bisa saja kemampuan untuk menganalisis sebuah persoalan kemudian  mengambil keputusan dengan cara yang cepat dan tepat agak sulit dilakukan. Misalnya komisi yang membidangi pendidikan tidak memberikan dampak positif terhadap pembangunan manusia Aplim Apom, untuk itu menurut hemat kami, segera menganti semua anggota DPRD yang membidangi  pendidikan dengan orang-orang yang berkompeten.  Dari awal sudah dibangun dengan cara-cara yang tidak baik sehingga pertarungan politik yang kedepanpun akan sama, semua calon anggota DPRD yang maju pada pemilihan ini, bisa saja karena motivasi materi dibanding moril.

Para Kepala Distrik Tidak Mempunyai Hati Untuk Rakyatnya

Kepala-kepala distrik yang adalah anak-anak putra daerah tidak punya hati untuk membangun daerahnya.  Kondisi objektif ini dilihat dari sejauhmana mereka membangun rumah/ menyewah rumah, menyediakan fasilitas mewah di Jayapura untuk menempatkan istri dan anak-anak dan sebagainya. Kepala-kepala distrik tidak betah di tempat, seolah-olah kantor mereka ada di Jayapura, mereka berminggu-minggu di Jayapura tanpa ada urusan yang jelas. Banyak kegiatan keluar Papua, tetapi dari sekian pelatihan yang diikuti belum pernah ada bukti fisik di daerah. Ketika ada pesta demokrasi kepala distrik selalu menjadi pelaku utama, demi uang mereka selalu  membelokkan suara rakyat kepada orang-orang  tertentu yang membayar mereka. Pembangunan di distrik belum dirasahkan secara penuh oleh pemerintah daerah, masyarakat hanya merasakan pembangunan dari  Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri) dan Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek) sedangkan dampak  dari Dana Pengembangan Distrik tidak dapat dirasakan masyarakat. Para kepala distrik hanya berfokus pada pembangunan fisik seperti, kantor-kantor dan perumahan, sedangkan pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi tidak perhatikan. Ketika dikritik kinerjanya mereka selalu membela diri dengan ideologi yang tidak masuk akal, seolah-olah mereka lebih hebat dari yang lain.

Para PNS Tidak Betah di Tempat Tugas

Kebanyakan Pegawai Negeri Sipil dilingkungan pemerintahan tidak betah di tempat, tanpa urusan yang jelas berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di Jayapura. Ketika habis bulan, dengan dasar “Gaji Adalah Hak Melekat”, mereka menuntut pembayaran gaji tepat pada waktunya. Pertanyaannya, Anda tidak melakukan kewajibanmu sebagai PNS, kenapa Anda menuntut hak?  Sangat ironis dengan kondisi ini. Sadar atau tidak sadar orang-orang yang mentalitas seperti ini telah menunjukkan ketidakpedulian terhadap tugas dan tanggungjawab yang diembannya. Kebanyakan pegawai negeri sipil dilingkungan pemerinthan tidak melaksanakan tugas dan fungsinya, mereka  ke kantor hanya untuk bermain games dikomputer, nongkrong sambil makan pinang di depan pasar dan depan kantor mereka masing-masing  sambil tunggu waktu pulang kantor, setiap hari pekerjaan mereka hanya itu-itu saja. Semua itu terjadi karena pemimpin tidak tegas dan selalu keluar kota  berbulan-bulan di Jayapura dan Jakarta tanpa urusan yang jelas. Hal ini diperparah lagi dengan perilaku PNS yang tidak bekerja dengan sungguh-sungguh. Yang ada dipikiran mereka adalah kerja sedikit mendapatkan uang banyak, mentalitas seperti inilah yang dibangun sejak berdirinya kabupaten Pegunungan Bintang. Apa jadinya jika mentalitas tersebut membudaya? Tugas berat bagi kita semua  untuk memperbaiki persoalan-persoalan mendasar seperti ini.  Rata-rata pegawai di lingkungan pemerintahan sudah diajari, dibina, dididik melalui  pelatihan-pelatihan  dari lembaga-lembaga terpercaya di Indonesia, tetapi produktivitas kerjanya masih sangat rendah. Dengan demikian persoalan sekarang adalah bukan kemampuan mereka dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya tetapi lebih pada mentalis masing-masing PNS. Untuk itu, sebagai pemimpin daerah harus punya komitmen, kedisiplinan, ketegasan untuk memaksa setiap pegawai untuk terus terpacuh bekerja membentuk mentalis yang tangguh, tahu akan tanggungjawab dan bekerja dengan hati yang tulus dan iklas. Sedangkan PNS yang bertugas dipedalaman  (distrik, puskesmas, dan sekolah-sekolah) selalu setia menjalankan tugas yang diembannya, walaupun ada beberapa PNS yang  selalu pulang pergi Jayapura dan menuntut hak tanpa melakukan kewajibannya. Dedikasi dan intregritas PNS yang kerja dengan tulus dan iklas di pedalaman Pegunungan Bintang, patut diapresiasi karena mereka adalah pahlawan-pahlawan pembangunan daerah yang sesungguhnya.

Oknum Pejabat Tertentu di Eksekutif dan Legislatif Meloloskan Pertambangan Terbuka
Kebijakan oknum tertentu dari  kalangan eksekutif dan legislatif telah meloloskan pertambangan terbuka di Kabupaten Pegunungan Bintang. Bijakan ini tanpa melibatkan semua  unsur, terutama lembaga adat, pemilik hak ulayat, daerah-daerah yang akan kena dampak pencemaran lingkungan,  kemudian belum ada kesepamahan antara pemerintah Kabupaten Boven Digoel dan Merauke yang secara langsung akan  kena dampak  pencemaran lingkungan. Kebijakan untuk pertambangan  di Pegunungan Bintang adalah buah hasil kepentingan politik merebut kursi legislatif  dan eksekutif. Menurut hemat kami, eksplorasi dan eksploitasi dilakukan apabila seluruh elemen yang berada di wilayah hak ulayat tersebut bersedia dan siap dari segala aspek, terutama sumber daya manusia. Sangat tidak tepat bila pemerintah memberikan perijinan kepada investor tertentu termasuk perusahaan BUMN untuk melakukan penambangan atau usaha-usaha lain yang berskala besar di wilayah-wilayah yang masyarakatnya tidak siap secara sumber daya manusia, pembangunan fisik memadai, mental masyarakat yang tidak siap untuk menghadapi berbagai benturan budaya terjadi. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama sumber daya manusia, kami menolak segala bentuk eksploitasi dan explorasi di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang.

BAGIAN TIGA
KONDISI PENYIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA PEGUNUNGAN BINTANG

Lahirnya undang undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 tentang Ketetapan Dana pendidikan sebesar 20% adalah kebijakan pemerintah sebagai hasil dari proses politik. Sejak tahun 2009 tampaknya pemerintah Indonesia memilki political will yang tegas dan berani untuk meningkatkan kualitas, martabat, daya saing tinggi melalui prioritas kebijakan pada sektor pendidikan sebagai upaya memajukan dan memakmurkan bangsa dan negara.
Salah satu unsur terpenting bagi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan adalah mencerdaskan anak bangsa dengan penyediaan sumber dana, baik melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) ataupun sumber-sumber lain yang bisa meningkatkan sumber daya manusia sebagai fokus utama dalam mengatasi masalah pembangunan daerah itu sendiri.  Meskipun anggaran biaya pendidikan bukan satu-satunya penentu tercapainya pendidikan berkualitas, tanpa anggaran biaya yang memadai pendidikan akan membuahkan hasil tidak memuaskan. Tercukupinya anggaran pendidikan sesuai dengan konstitusi, maka diharapkan tercapainya kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Ketika tercipta SDM yang berkualitas, tentunya kesejahteraan hidup masyarakat turut meningkat pula. Kegiatan produksi diberbagai sektor ekonomi melaju pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dan kesadaran pentingnya sikap toleran yang berdemokrasi akan berkembang sehingga terbentuklah masyarakat madani yang dicita-citakan. Jika masyarakat madani telah terwujud, stabilitas daerah dan politik kekuasaan akan menjamin kemakmuran suatu bangsa dan Negara.
Maju atau mundurnya pembangunan suatu daerah tergantung pada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, tanpa sumberdaya  manusia yang handal proses pembangunan akan terhambat.  Sumber daya manusia identik dengan pendidikan, tanpa pendidikan sumber daya manusia yang handal tidak akan ada, sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM yang merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Di belahan dunia manapun,  sumber daya manusia diperlakukan sebagai aset yang utama dan terutama dalam suatu organisasi, terutama negara-negara berkembang sedang berupaya menginvestasikan sumber daya keuangan untuk mempersiapkan sumberdaya manusia melalui pendidikan formal, informal dan nonformal.  Kalau di analogikan SDM bagaikan ”Darah dalam tubuh manusia, tanpa darah manusia tidak akan hidup” begitu pula dengan pembangunan, tanpa SDM proses pembangunan tidak akan ada.
Menurut laporan  Human Development Report 2013 yang dikeluarkan Organisasi Program Pembangunan PBB atau United Nation Development Program (UNDP) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia kalah jauh dibandingkan negara terdekatnya Singapura dan Malaysia. Jika Indonesia berada di posisi 121 dunia, kedua negeri jiran ini bertengger masing-masing di posisi 18 dan 64 dunia. Kemudian untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua merupakan yang terendah dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia.  Berdasarkan data IPM Papua sampai dengan 2011 adalah 69, 68 %. Hal ini dilihat berdasarkan angka harapan hidup 70, 3 %, angka melek huruf 88,19 %, rata-rata lama sekolah 68 %, dan pengeluaran perkapita 7 %. Angka tersebut menunjukan pembangunan dibidang pendidikan harus mendapatkan prioritas penting agar putra-putri Papua  dapat menyelesaikan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.  Untuk IPM di Papua, kabupaten Pegunungan Bintang masih dibawah Kabupaten Tolikara, Asmat, Mappi,  Dogiyai, Yahukimo dan  Lanny Jaya padahal beberapa kabupaten  dimekarkan pada saat bersamaan melalui UU No. 26 Tahun 2002, kecuali kabupaten Dogiyai, dan Lanny Jaya dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008.  IPM untuk kabupaten Pegunungan Bintang angka harapan hidup 66.00 %, angka melek huruf 32.50 %, rata-rata lama sekolah  2.54 %. pengeluaran perkapita disesuikan 588.02 % dan IPM 49.45
Untuk meningkatkan IPM, pembangunan pendidikan merupakan prioritas utama dalam RPJMD Kabupaten Pegunungan Bintang Tahun 2011-2016. Kondisi pendidikan yang memprihatinkan telah menjadi perhatian pemerintah daerah sejak awal mulai berdirinya Kabupaten Pegunungan Bintang. Mulai tahun 2003 hingga saat ini telah banyak dilaksanakan program dan kegiatan pembangunan bidang pendidikan dan telah memberikan dampak membaiknya kondisi penyelenggaraan pendidikan di daerah. Namun demikian dengan keterbatasan sumberdaya anggaran dan aparatur serta hambatan kondisi geografis wilayah yang berat, tujuan pembangunan pendidikan di daerah belum sepenuhnya terwujud. Selain itu, langkah strategis lain yang diambil Pemerintah Daerah dalam upaya mempersiapkan putra-putri asli sebagai generasi penerus bangsa, sejak 2003 pemerintah daerah berupa pengiriman siswa-siswi untuk menempuh pendidikan di luar kabupaten baik di Papua maupun luar Papua. Demikian juga Pemerintah Daerah tengah menjadi kerjasama/kemitraan dengan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kaitan hal tersebut, beberapa program yang dilaksanakan antara lain : Bantuan dana pendidikan pertahun untuk S1 dan S2 di Perguruan Tinggi di Papua: Uncen, Unipa, USTJ, Uniyap, UOG, Stikom, STIE Port Numbay,  STT Fajar Timur, STT Waterpost, IPI, dsb. Kerja Sama MOU lembaga-lembaga  dan perguruan tinggi diluar Papua Luar Papua : Universitas Gadja Mada (UGM), Universitas Sanata Dharma (USD), STPMD Yogya, Surya Institut. Pengiriman mahasiswa ke STPDN Jatinangor Bandung, Pengiriman ke Perguruan Tinggi di Cina, pembekalan bahasa inggris di Asia Pasific International University (APIU) Thailand, sekolah pilot di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curub dan yang sekarang adalah program beasiswa melalui UP4B.
http://komapo.org/images/stories/pengirimansecaraumum.jpg

Berdasarkan  data Komunitas Mahasiswa Pelajar Aplim Apom (Komapo), pengiriman mahasiswa dan pelajar dimulai tahun 2003, dengan jumlah mahasiswa 12 orang ke kota studi Yogyakarta tanpa ada kerja sama dengan pihak manapun (pengiriman langsung).  Pada waktu itu pemerintahannya pada masa karateker sehingga mahasiswa tidak diurusi secara serius. Banyak hambatan yang di hadapi, terutama manajemen keuangan tidak jelas, kesulitan beradaptasi dengan lingkungan pendidikan, kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sosial kemasyarakatan, kurangnya kontrol atau evaluasi sehingga berdampak pada prestasi dan kesuksesan dalam menempuh pendididkan. Melihat fenomena tersebut pemerintah daerah dengan cepat mempercayakan Yayasan Binterbusih untuk mendampingi dan memfasilitasi mahasiswa hingga menyelesaikan studinya. Pada waktu itu pemerintah  tidak secara resmi ( MOU) dengan yayasan Binterbusih, tetapi karena berkat Drs. Theodorus Sitokdana yang adalah mantan staf di yayasan Binterbusih sehingga secara kekeluargaan mempercayakan Yayasan Binterbusih untuk menangani mahasiswa Kabupaten Pegunungan Bintang. Kemudian   pada tahun 2005  setelah terpilihnya bupati defenitif, pemerintah  daerah mengirim 9  mahasiswa dan tahun 2006 mengirim 15 mahasiswa ke  STIPAN Jakarta. Program pendidikan di STIPAN selama 2 tahun atau setara dengan diploma dua, akan tetapi kebijakan pemerintahan dalam  negri untuk mempersiapkan tenaga professional dibidang pemerintahan sehingga tetap mengakui sebagai pendidikan sarjana strata satu (S1).  Kemudian banyak pihak meraguhkan kualitas output STIPAN sehingga Drs. Theodorus Sitokdana yang adalah wakil bupati pada waktu itu, memandang “untuk menciptakan sumber daya manusia yang handal perlu dilalui dengan proses pendidikan yang panjang  dan sistematis sehingga seseorang harus benar-benar  matang secara intelejensi, emosional dan spritual ”.  Dengan demikian pada tahun 2007  Mantan Wakil Bupati Drs. Theodorus Sitokdana yang juga  adalah alumni program ekstensi bahasa inggris Univerisitas Sanata Dharma melakukan MOU dengan FKIP Universitas Sanata Dharma (USD) untuk jangkah waktu 6 tahun (6 angkatan penerima beasiswa).  Pada tahun yang sama pemerintah daerah mengirim 25 mahasiswa untuk mengikuti program pendidikan matrikulasi selama 1 tahun (pembekalan)  dan dilanjutkan dengan program kuliah strata satu (S1)  dengan maksud agar mahasiswa tidak mengalami kesulitan ketika mengikuti kuliah aktif dilingkungan USD.

Kemudian pada tahun yang sama pemerintah daerah mengirim pelajar ke Semarang dengan jumlah 16 orang, mereka tidak mengikuti program matrikulasi (langsung masuk ke SMA/SMK) sehingga banyak yang mengalami kesulitan, bahkan 8 pelajar pulang ke Papua karena belum bisa menyesuaikan diri dengan iklim pendidikan di kota Semarang, dan yang masih bertahanpun  mengalami banyak masalah, terutama kesulitan dalam menerima pelajaran yang berkaitan dengan hitung-menghitung. Dengan demikian mulai tahun 2008 Yayasan Binterbusih memprogramkan sistem matrikulasi (pembekalan) satu tahun, sebelum memasuki pendidikan ditingkat sekolah menengah atas. Tahun 2008 pemerintah daerah mengirim  25 orang, berdasarkan hasil evaluasi studi angkatan pertama dan angkatan kedua menunjukkan angkatan kedua jauh lebih baik dibanding angkatan pertama, dapat dilihat dari prestasi belajar ketika menumpuh pendidikan di sekolah menengah atas, salah satu pelajar yang ikut matrikulasi berhasil masuk di  sekolah bergengsi di kota Semarang yaitu SMA Donbosko   Progam MIPA, melihat peningkatan prestasi belajar maka yayasan Binterbusih menetapkan program matrikulasi berlanjut untuk setiap tahun.  Pada tahun yang sama (2008) pemerintah daerah mengirim 25 mahasiswa ke USD. Kemudian  tahun 2009 mengirim 25 mahasiswa ke USD, 5 pelajar SMA dan 5 pelajar SD ke Surya Institut Tangerang untuk pembekalan ilmu MIPA oleh Prof. Yohanes Surya, Ph.D.

Tahun 2010 pengiriman  mahasiswa ke USD 11 orang, dan ke Universitas Gadja Mada (UGM) sebanyak 11 mahasiswa melalui jalur kerja sama MOU,   pengiriman 9 pelajar ke Yayasan Binterbusih ditambah 4 orang diluar  pengiriman pemerintah daerah sehingga 13 pelajar,  dan pengiriman mahasiswa ke Surya institute 10 mahasiswa untuk bidang keguruan jurusan MIPA.

Setelah adanya proses politik  dan pergantian jabatan lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang, aspek pendidikan tidak perhatikan secara serius, ketidak seriusan pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia mulai nampak yang dapat dilihat pada grafik 1  yang menunjukan bahwa tahun 2011 dan 2012  tidak ada pengiriman mahasiswa dan pelajar ke lembaga/institusi  kerja sama. Diperparah lagi dengan proses politik pemilihan gubernur, pemerintah daerah  fokus  pada pesta politik semata, wakil bupati yang notabennya adalah anak asli Aplim Apom diam seribu diam tanpa ada kebijakan nyata demi daerahnya. Dua tahun pemerintah daerah tidak mengirim mahasiswa ke lembaga/ institusi terkait, hal ini menunjukan bahwa Pemerintah  daerah tidak konsisten terhadap kesepakatan MOU. Diperparah lagi dengan keterlambatan pengiriman dana, hubangan komunikasi tidak jelas, badan/dinas yang mengurusi bidang kerja sama selalu apatis dengan  lembaga/institusi kerja sama, semua urusan seolah-olah dikendalikan oleh seorang bendahara umum yang dari sisi tupoksi menyalahi aturan pemerintahan, dengan demikian trust Kabupaten Pegunungan Bintang dimata lembaga/institusi kerja sama  semakin hari semakin luntur.
http://komapo.org/images/stories/pengirimanpertahun.jpg

Berdasarkan grafik 2 menunjukan bahwa mahasiswa dan pelajar yang kirim ke lembaga/institusi kerja sama. Mulai tahun 2003 terjadi peningkatan yang signifikan, pengiriman mahasiswa terbanyak pada tahun 2010 dengan jumlah 32 dan pelajar 2008 dengan jumlah 25 orang. Tahun 2011 dan 2012 tidak ada pengiriman mahasiswa dan pelajar ke lembaga/institusi kerjasama. Untuk tahun 2012 tanpa sepengetahuan pemerintah daerah ada 2 putra dan 1 putri Aplim Apom dengan inisiatif sendiri datang ke Kota semarang, dengan hati yang tulus seorang Bapa Orang Papua, Drs Paulus Sudiyo menerima dan mendaftarkan mereka sebagai pelajar program beasiswa utusan daerah. Hal ini menunjukan bahwa putra-putri Aplim Apom ingin bersaing dengan orang lain melalui pendidikan tetapi pemerintah daerah selalu apatis terhadap generasinya.
http://komapo.org/images/stories/pembiyaanstudi.jpg

Berdasarkan data Komapo, mahasiswa dan pelajar Kabupaten Pegunungan Bintang yang ada diluar Papua ± 189 orang. Dari data tersebut dapat bagi dalam beberapa bagian berdasarkan tanggungan biaya studi, diantaranya; mahasiswa dan pelajar yang dibeasiswakan penuh oleh pemerintah daerah melalui jalur kerja sama, biaya sendiri dan ada beasiswa program afirmativ action dari Pemerintah pusat melalui Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Berdasarkan grafik 3 diatas menunjukkan bahwa 50 % mahasiswa dan pelajar lebih banyak dibeasiswakan melalui jalur yayasan Binterbusih, rata-rata mahasiswa dan pelajar yang tidak melalui jalur pengiriman langsung dari pemda yang sedang berstudi di pulau Jawa dan Bali didaftarkan sebagai penerima beasiswa penuh. Kemudian 17% untuk biaya sendiri, rata-rata mahasiswa yang ada diluar Pulau Jawa dan Bali, mereka mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah daerah. Akan tetapi masih ada juga mahasiswa dan pelajar di sekitar Pulau Jawa dan Bali yang belum menerima beasiswa penuh, karena belum mengajuhkan permohonan ke Yayasan Binterbusih dan atau dalam proses persetujuan pemerintah daerah. Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa melalui jalur Universitas Sanata Dharma (USD) 15 %. Pada tahun 2012 melalui kesepakatan pemerintah dan USD, mahasiswa alumni mantrikulasi yang kuliah diluar kampus USD dialihkan ke Yayasan Binterbusih. Kemudian 8% mahasiswa dibeasiswakan melalui jalur program UP4B yang dikirim tahun 2012, 5% melalui Surya Institut dan 5% melalui Universitas Gadja Mada (UGM).
http://komapo.org/images/stories/penjebarankonsentrasistudi.jpg
Masalah serius yang dihadapi di Papua adalah masalah sumber daya manusia dibidang kesehatan dan pendidikan, untuk menjawab kedua masalah tersebut tentunya melalui proses pendidikan yang baik, sehingga dampaknya benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Menjawab persoalan pendidikan dan kesehatan yang sangat minim di Papua, kebijakan pemerintah pusat melalui UU Otonomi Khusus dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pembangunan pendidikan dan kesehatan. Upaya tersebut mampu diterjemahkan oleh pemerintah daerah kabupaten Pegunungan Bintang melalui program kerja sama dengan Universitas Sanata Dharma dan Surya Institut, yang bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia dibidang pendidikan. Apa yang harapkan pemerintah daerah tidak segampang yang dipikirkan, semua mahasiswa yang dikirim ke USD tidak semua memilih kuliah dijurusan pendidikan dan tidak semua dapat kuliah di Universitas Sanata Dharma. Mahasiswa yang dikirim ke Universitas Gadja Mada bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia dibidang kesehatan, tetapi tidak semua mahasiswa yang dikirim memilih kuliah di jurusan kesehatan. Sedangkan mahasiswa yang dikirim melalui jalur UP4B rata-rata mahasiswa jurusan Akuntasi dan Pertanian. Dengan demikian untuk menjawab persoalan pendidikan dan kesehatan di Pegunungan Bintang membutuhkan kesabaran dan waktu yang panjang. Berdasarkan grafik 4 menunjukkan bahwa mahasiswa asal Kabupaten Pegunungan Bintang yang kuliah bidang keguruan dibawah 20% dan dibidang kesehatan dibawah 10 %, sedangkan 80% mahasiswa kuliah dibidang lain.
http://komapo.org/images/stories/jenjangpendidikan.jpg

Berdasarkan grafik 5 diatas  menunjukan bahwa mahasiswa lebih banyak studi di strata satu (S1)  dengan jumlah 77%, sedangkan paling kecil adalah 0% untuk program S3, sampai sekarang  belum ada yang studi ke jenjang strata tiga,  ini menunjukkan bahwa belum bisa bersaing  atau diperhitungkan  dalam konteks orang Papua. Berdasarkan data pada grafik 5  menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak serius memperhatikan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.  Misalnya,  selama ini dari segi pendanaan mahasiswa yang studi di strata dua  diperlakukan sama dengan mahasiswa strata satu,  padahal untuk jenjang strata dua membutuhkan biaya yang lebih besar. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah sadar akan pengembangan sumber daya manusia melalui aspek pendidikan.

Dengan adanya pengiriman mahasiswa dan pelajar  ke beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia dan luar negri melalui program kerja sama mitra pendidikan dinilai dapat menjawab harapan masyarakat demi menjawab ketertinggalan pembangunan. Setelah digantikannya Drs. Theodorus Sitokdana pada posisi Wakil Bupati, dan terpilihnya pemerintahan baru,  komitmen pemerintah daerah kabupaten Pegunungan Bintang untuk meneruskan kualitas pendidikan bagi generasi penerus sebagai bukti pengembangan sumber daya manusia ini pun mengalami kemunduran. Bahkan telah terjadi penumpukan utang pada lembaga lembaga terkait yang melakukan perjanjian tersebut . Hal ini terbukti dengan desakan pihak kedua (pihak perguruan tinggi dan rekanan swasta) kepada pemerintah daerah maupun mahasiswa asal kabupaten Pegunungan Bintang untuk memperjelas kepastian akan realisasi dana pendidikan untuk melunasi utang pihak perguruan tinggi maupun swasta yang dipinjamkanya. Namun salah satu masalah dasar yang belum jelas sampai sekarang adalah terkait belum ditanda tanganinya beberapa surat perjanjian yang hanya dilakukan secara formalitas karena keprihatinan akan kepentingan sumber daya manusia itu sendiri. Di sisi lain pemerintah daerah sendiri tidak menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan tidak terakomodir dalam regulasi daerah, terutama kepastian dana pendidikan melalui peraturan daerah, membuat efektifitas kelancaran biaya pendidikan tersebut mandek dan tidak jelas dalam setiap tahun, sehingga penyelenggaraan pemerintahan terkesan dipaksakan dan hanya dilakukan dalam bentuk bantuan. Padahal posisi pemerintah yang seperti ini bisa di indikasi sebagai pemerintahan korup karena akuntabilitas dan transparansi penggunaan keuangan daerah tidak sesuai dengan asas asas pemerintahan yang baik dan benar serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme di Kabupaten Pegunungan Bintang dan Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pada umumnya.

Dengan demikian pernyataan sikap kami berawal dari sejumlah masalah yang terjadi, terutama terkait ketidakjelasan pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang dalam membuat perjanjian bersama (MOU) membuat lembaga lembaga perguruan tinggi maupun swasta yang di percayakan harus mengalami kerugian. Dan dimungkinkan kedepan mahasiswa Pegunungan Bintang yang dititip di Universitas Sanata Dharma dan Universitas Gadja Mada tidak akan diperhatikan dan dikembalikan kepada orang tua atau pun pemerintah daerah sendiri.

Dengan mengacu pada segala persoalan di atas, maka kami menyampaikan bahwa:
1.      Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menemui kendala kelancaran biaya kuliah bagi mahasiswa Pegunungan Bintang melalui program matrikulasi. Dari data yang kami peroleh bahwa pemerintah daerah telah memberhentikan pengiriman mahasiswa tiga angkatan (2011-2013). Sedangkan Berdasarkan nota kesepahaman (MOU) antara pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang dengan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta adalah lima (5) kali pengiriman dengan jumlah mahasiswa 25 orang, maka pemerintah daerah telah mempersiapkan 250 mahasiswa Pegunungan Bintang yang kuliah di Yogyakarta dan ditangani oleh USD. Selain itu kami peroleh data dari USD bahwa, selama satu tahun pemerintah daerah belum mengirim uang sehingga pihak kampus membayar kebutuhan mahasiswa dari kas universitas Sanata Dharma Yogyakarta, jumlah dana yang dikeluarkan berkisar 4 miliar lebih.
2.      Universitas Gadjah Mada sampai sekarang ini pun pemerintah daerah Pegunungan Bintang belum ada realisasi, walaupun sudah ada MOU. Pihak Universitas butuh kejelasan pemerintah terkait masalah ini, karena dapat mengganggu kelancaran administrasi akademik yang berlaku pada Universitas Gadjah Mada.
3.      Yayasan Bina Teruna Bumi Cenderawasih (Binterbusih) di Semarang sebagai lembaga penyalur dana pendidikan terutama untuk membiayai kebutuhan mahasiswa. Menurut informasi yang kami peroleh dari Yayasan Binterbusih bahwa uang yang dikirim oleh pemerintah tahun 2012 belum cukup untuk membayar utang dan membiayai mahasiswa di Se-Jawa dan Bali. Terbukti beberapa mahasiswa belum dibayarkan uang kuliahnya oleh Yayasan Binterbusih sehingga mereka komplain ke organisasi Komapo.
4.      Mahasiswa yang telah dikirim ke Yayasan Institut dari tahun 2009- 2013 belum diperhatikan oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan Prof. Yohanes Surya bisa dapat membiayai mereka. Beberapa mahasiswa dari Surya Institute pernah di ajuhkan untuk mendapatkan beasiswa dari Yayasan Binterbusih tetapi pemerintah tidak menyetujui permohonan yang di ajuhkan.
5.      Progam UPB4 yang telah diprogramkan pemerintah pusat melalui program affimativ actions tidak berjalan dengan baik, akhirnya kebanyakan mahasiswa harus pulang ke Papua. Dari kabupaten Pegunungan Bintang ada beberapa anak sudah pulang  karena tidak ada uang makan dan biaya tempat tinggal.




PERNYATAAN SIKAP

Berdasarkan akumulasi persoalan-persoalan yang ada, kami orang muda Aplim Apom dengan tegas menyatakan bahwa:
1.      Pemerintah daerah segera memperjelas dana pendidikan kabupaten Pegunungan Bintang dari tahun 2009-2013.
2.      Pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang segera melunasi utang-utang (di universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yayasan Binterbusih, dan Surya Institut) yang selama ini digunakan oleh mahasiswa Pegunungan Bintang untuk membiayai kuliah, biaya hidup, biaya tempat tinggal, dan biaya kesehatan selambat-lambatnya akhir bulan juli 2013. Apabila dalam bulan juli tidak ditanggapi oleh pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang, maka seluruh masyarakat Pegunungan Bintang akan mengambil langkah konkrit ditingkat pusat maupun daerah, termasuk aksi demo besar-besaran di Oksibil.
3.      Pemerintah daerah segera memberikan beasiswa penuh kepada semua mahasiswa Pegunungan Bintang di seluruh Indonesia.
4.      Segera menggantikan jabatan Sekda, Bendahara Umum, Kepala Dinas Pendidikan,  Kabag Keuangan dengan orang yang kompeten, jika tidak diganti maka Bupati Pegunungan Bintang harus mundur secara terhormat.
5.      Segera menggantikan anggota DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang yang membidangi Komisi Pendidikan dengan  orang yang kompeten.
6.      Para pejabat Eksekutif, Legislatif, dan Pegawai Negeri Sipil lainnya yang tinggal berbulan-bulan di Jayapura tanpa agenda yang jelas segera ditindak lanjuti.
7.      Pemerintah daerah segera turun tangan menangani persolan Miras, Togel, Judi, Narkoba, HIV/AIDS yang telah bertumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Pegunungan Bintang. Harus ada peraturan daerah mengenai penanganan persoalan-persoalan tersebut diatas.
8.      DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang segera membuat dan menetapkan PERDA tentang harga barang dan jasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!