MASUKNYA
INJIL DI MANUKWARI PAPUA BARAT
I.
Pendahuluan
Kabar akan diberlakukannya perda bernuansa Agama (injil) di Manokwari, atau yang lebih dikenal dengan istilah “Perda manokwari Kota Injil”, di Ibu kota provinsi Papua Barat, menimbulkan kontroversi, baik dalam kalangan Kristen itu sendiri, maupun juga dari umat Islam yang secara langsung merasa terdiskriminasikan. Menurut berita-berita di media massa, draft perda kota Injil yang telah beredar, tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, secara langsung isinya terindikasi membelenggu kebebasan beragama, khususnya kaum muslim. Reaksi yang begitu riuh sekitar perda kota injil itu mendapatkan tempatnya ditengah maraknya perda bernuansa agama yang dihadirkan dibeberapa daerah di Indonesia. Meski kehadiran perda-perda bernuansa agama (perda syariah) itu diklaim terlahir secara demokratis, Namun, tetap saja penetapan perda bernuansa agama itu telah mendiskriminasikan agama-agama lain, bahkan meski pembahasannya telah menuai protes, perda bernuansa agama itu dengan dukungan mayoritas masyarakat setempat tetap saja diberlakukan, setidaknya itu telah ditetapkan di tingkat provinsi (6), kabupaten (38), Kota (12). Respons penolakan terhadap pemberlakuan perda Manokwari Kota Injil itu datang baik dari daerah Papua maupun daerah di luar Papua. Bahkan di beberapa daerah telah ada demonstrasi penolakan pemberlakuan perda Injil di Kota Manokwari pada awal didengungkannya. Mereka yang tahu bagaimana proses diberlakukannya perda-perda syariah, tahu dengan pasti, mayoritas Kristen di Papua niscaya mampu “menggolkan” perda itu jika dilakukan pembahasan.Namun pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah yang menyebabkan kehadiran perda Injil itu, dan apakah memang perda Injil itu memiliki pijakan yang kuat dalam teologi Kristen itu sendiri? Tulisan ini akan menjawab kedua pertanyaan tersebut.
II. Perda Injil di Kota Manokwari. A. Manokwari Kota Injil Sebutan Manokwari Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru, karena sebutan itu terkait dengan peristiwa historis masuknya Injil ke tanah Papua. Setiap tahun masyarakat Papua dari berbagai daerah pada tanggal 5 Februari tumpah ruah di Kota Manokwari, khususnya pulau Mansinam, untuk merayakan masuknya Injil ke tanah Papua. Namun, secara formal sebutan itu baru diangkat setelah adanya otonomi khusus. Sebelumnya, Manokwari biasa disebut kota buah, karena memang di kota itu banyak buah-buahan.
Sejarah melaporkan bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5 Februari 1855, bernama Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika pertama kalinya menjejakan kaki di pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, kedua missionary itu mengucapkan kata-kata penting yang sampai saat ini dipegang oleh masyarakat Kristen Papua, “Im Namen Gottes betreten wir dieses Land” “Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini. Pernyataan dua missionari yang digelari ”Rasul Papua” itu oleh masyarakat Kristen Papua dipercaya sebagai suatu penetapan Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai tanah milik Tuhan, yang kemudian mereka sebut Kota Injil atau daerah Injil, karena manokwari adalah pintu gerbang masuknya Injil ke tanah Papua. Pada mulanya, sebutan itu tidak diformalkan, karena Manokwari dikenal dengan sebutan kota buah-buahan. Pada akhir tahun 2005, umat Muslim manokwari memutuskan untuk membangun Mesjid Raya. Rencana pembangunan mesjid raya itu mendapat dukungan dari Wakil Gubernur, Rahimin Kacong, yang sedang mencari dukungan pemilih Muslim untuk memenangkan pemilihan kepala daerah pada bulan Maret 2006. Rumors yang muncul di masyarakat adalah pembangunan Mesjid Raya itu akan disertai dengan Islamic Center yang terbesar di Asia Tenggara. Bagi pemimpin-pemimpin Gereja Papua, pembangunan Mesjid Raya itu bertentangan dengan kondisi Manokwari yang sejak lama diakui sebagai Kota Injil, meski tidak secara formal, apalagi umat Muslim di manokwari tidak kekurangan tempat untuk beribadah. Kehadiran Mesjid raya itu tentu akan melampaui besarnya gereja-gereja Kristen yang adalah agama mayoritas di Manokwari, itu tentu saja menimbulkan perasaan terpinggirkan dari masyarakat Kristen yang adalah mayoritas. Pdt. Albert Yoku, wakil Sekretaris Sinode GKI (Gereja Kristen Injili di Tanah Papua), yang berdomisili di Sentani, Jayapura. Menjelaskan, “persiapan untuk membangun Mesjid Raya dan Islamic Center itu sudah dikerjakan sejak 2003-2004, padahal di Kota Manokwari, setiap tahun ada perayaan besar agama Kristen yang dirayakan pada tanggal 5 Februari, hari perayaan masuknya Injil ke tanah Papua dan dipusatkan di pulau Mansinam, dan perayaan itu dirayakan oleh semua orang Kristen Papua, dan mereka biasanya, dari berbagai daerah di Papua, tumpah ruah di pulau Mansinam, pemerintah juga ikut terlibat memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu, tetapi mengapa di tempat itu harus dibangun Mesjid Raya yang besarnya melampaui gereja-gereja yang ada di kota Manokwari.” Apa yang dikatakan oleh Albert Yoku itu juga menjadi pemikiran banyak tokoh-tokoh agama Kristen di Papua, ini jelas menunjukan bahwa ada perasaan terancam masyarakat Kristen Papua terhadap umat Islam, padahal GKI adalah gereja yang dapat dikategorikan Gereja yang cukup toleran.
Kabar akan diberlakukannya perda bernuansa Agama (injil) di Manokwari, atau yang lebih dikenal dengan istilah “Perda manokwari Kota Injil”, di Ibu kota provinsi Papua Barat, menimbulkan kontroversi, baik dalam kalangan Kristen itu sendiri, maupun juga dari umat Islam yang secara langsung merasa terdiskriminasikan. Menurut berita-berita di media massa, draft perda kota Injil yang telah beredar, tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, secara langsung isinya terindikasi membelenggu kebebasan beragama, khususnya kaum muslim. Reaksi yang begitu riuh sekitar perda kota injil itu mendapatkan tempatnya ditengah maraknya perda bernuansa agama yang dihadirkan dibeberapa daerah di Indonesia. Meski kehadiran perda-perda bernuansa agama (perda syariah) itu diklaim terlahir secara demokratis, Namun, tetap saja penetapan perda bernuansa agama itu telah mendiskriminasikan agama-agama lain, bahkan meski pembahasannya telah menuai protes, perda bernuansa agama itu dengan dukungan mayoritas masyarakat setempat tetap saja diberlakukan, setidaknya itu telah ditetapkan di tingkat provinsi (6), kabupaten (38), Kota (12). Respons penolakan terhadap pemberlakuan perda Manokwari Kota Injil itu datang baik dari daerah Papua maupun daerah di luar Papua. Bahkan di beberapa daerah telah ada demonstrasi penolakan pemberlakuan perda Injil di Kota Manokwari pada awal didengungkannya. Mereka yang tahu bagaimana proses diberlakukannya perda-perda syariah, tahu dengan pasti, mayoritas Kristen di Papua niscaya mampu “menggolkan” perda itu jika dilakukan pembahasan.Namun pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah yang menyebabkan kehadiran perda Injil itu, dan apakah memang perda Injil itu memiliki pijakan yang kuat dalam teologi Kristen itu sendiri? Tulisan ini akan menjawab kedua pertanyaan tersebut.
II. Perda Injil di Kota Manokwari. A. Manokwari Kota Injil Sebutan Manokwari Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru, karena sebutan itu terkait dengan peristiwa historis masuknya Injil ke tanah Papua. Setiap tahun masyarakat Papua dari berbagai daerah pada tanggal 5 Februari tumpah ruah di Kota Manokwari, khususnya pulau Mansinam, untuk merayakan masuknya Injil ke tanah Papua. Namun, secara formal sebutan itu baru diangkat setelah adanya otonomi khusus. Sebelumnya, Manokwari biasa disebut kota buah, karena memang di kota itu banyak buah-buahan.
Sejarah melaporkan bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5 Februari 1855, bernama Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika pertama kalinya menjejakan kaki di pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, kedua missionary itu mengucapkan kata-kata penting yang sampai saat ini dipegang oleh masyarakat Kristen Papua, “Im Namen Gottes betreten wir dieses Land” “Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini. Pernyataan dua missionari yang digelari ”Rasul Papua” itu oleh masyarakat Kristen Papua dipercaya sebagai suatu penetapan Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai tanah milik Tuhan, yang kemudian mereka sebut Kota Injil atau daerah Injil, karena manokwari adalah pintu gerbang masuknya Injil ke tanah Papua. Pada mulanya, sebutan itu tidak diformalkan, karena Manokwari dikenal dengan sebutan kota buah-buahan. Pada akhir tahun 2005, umat Muslim manokwari memutuskan untuk membangun Mesjid Raya. Rencana pembangunan mesjid raya itu mendapat dukungan dari Wakil Gubernur, Rahimin Kacong, yang sedang mencari dukungan pemilih Muslim untuk memenangkan pemilihan kepala daerah pada bulan Maret 2006. Rumors yang muncul di masyarakat adalah pembangunan Mesjid Raya itu akan disertai dengan Islamic Center yang terbesar di Asia Tenggara. Bagi pemimpin-pemimpin Gereja Papua, pembangunan Mesjid Raya itu bertentangan dengan kondisi Manokwari yang sejak lama diakui sebagai Kota Injil, meski tidak secara formal, apalagi umat Muslim di manokwari tidak kekurangan tempat untuk beribadah. Kehadiran Mesjid raya itu tentu akan melampaui besarnya gereja-gereja Kristen yang adalah agama mayoritas di Manokwari, itu tentu saja menimbulkan perasaan terpinggirkan dari masyarakat Kristen yang adalah mayoritas. Pdt. Albert Yoku, wakil Sekretaris Sinode GKI (Gereja Kristen Injili di Tanah Papua), yang berdomisili di Sentani, Jayapura. Menjelaskan, “persiapan untuk membangun Mesjid Raya dan Islamic Center itu sudah dikerjakan sejak 2003-2004, padahal di Kota Manokwari, setiap tahun ada perayaan besar agama Kristen yang dirayakan pada tanggal 5 Februari, hari perayaan masuknya Injil ke tanah Papua dan dipusatkan di pulau Mansinam, dan perayaan itu dirayakan oleh semua orang Kristen Papua, dan mereka biasanya, dari berbagai daerah di Papua, tumpah ruah di pulau Mansinam, pemerintah juga ikut terlibat memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu, tetapi mengapa di tempat itu harus dibangun Mesjid Raya yang besarnya melampaui gereja-gereja yang ada di kota Manokwari.” Apa yang dikatakan oleh Albert Yoku itu juga menjadi pemikiran banyak tokoh-tokoh agama Kristen di Papua, ini jelas menunjukan bahwa ada perasaan terancam masyarakat Kristen Papua terhadap umat Islam, padahal GKI adalah gereja yang dapat dikategorikan Gereja yang cukup toleran.
Pendirian Mesjid Raya kemudian mendapat penolakan dari umat Kristen
karena dianggap sebagai tindakan yang anti toleran. Apalagi pertambahan
masyarakat Muslim di Papua cukup signifikan. Islamisasi di tanah Papua serta
migrasi umat Islam ke Papua membuat masyarakat Kristen Papua terpinggirkan.
Bahkan, partai-partai Islam di Papua pada pemilu 2004 telah mengklaim bahwa
umat Muslim di Papua sekitar 40% dan terus mengalami pertambahan. Keberhasilan perkembangan
agama Islam di Papua itu dianggap melahirkan hegemoni Islam dengan pembangunan
rumah ibadahnya yang besar meski tempat-tempat ibadah Islam telah mencukupi.
Pada sisi yang lain, Kemudahan yang selama ini diberikan kepada umat Muslim
ternyata tidak sama dengan yang dialami oleh umat Kristen di daerah-daerah
lainnya, laporan jumlah gereja yang terbakar atau dirusak juga dilaporkan
kepada masyarakat Kristen di Papua. Gema Indonesia sebagai negara juara
pembakaran rumah ibadah, khususnya gereja yang terbanyak di dunia tentu saja
menimbulkan perasaan terancam umat Kristen Papua yang terkenal amat toleran,
belum lagi pendatang yang beragama Islam umumnya lebih kaya dibandingkan
masyarakat Kristen Papua. Pada tanggal 17 November 2005, ada kira-kira 5000 orang
lebih pendemo yang memprotes pembangunan mensjid raya tersebut, ribuan massa
yang terdiri dari mahasiswa Kristen, warga Gereja dan pemimpin-pemimpin gereja
yang berasal dari 30 denominasi gereja, berdemonstrasi ke kantor DPRD Provinsi
Papua Barat, sebelumnya mereka berkumpul di Gereja dekat kompleks DPRD, GKI
Maranatha, kemudian dengan berjalan kaki mereka tumpah ruah di gedung DPRD
kabupaten Manokwari. Demonstran itu diterima oleh Ketua DPRD Provinsi Papua
Barat dengan didampingi Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan, dan Kapolres dan
Dandim setempat. Pada waktu itu juga para pendemo mendesak untuk menetapkan
Manokwari sebagai kota Injil. Para demonstran juga menuntut, pembangunan
tempat-tempat ibadah mesti memperhatikan
keberadan Manokwari sebagai kota Injil, sehingga peristiwa pembangunan Mesjid
Raya yang menimbulkan rasa terancam umat Kristen itu tidak boleh terulang lagi.
Para demonstran curiga bahwa usaha pembangunan Mesjid Raya akan terus
diupayakan dengan segala cara, karena itu mereka menuntut ditetapkannya
Manokwari sebagai Kota Injil. Sejak aksi demo itu wacana Manokwari kota Injil
mulai sering diperdengarkan dalam pidato-pidato pejabat pemerintah, dan
tokoh-tokoh agama di Papua. Demo damai itu memang hampir saja menyulut
kemarahan massa pendemo karena adanya komunikasi yang tidak lancar, tapi bukan
benturan antar agama. Penurunan spanduk yang dibawa pendemo yang bertuliskan
penolakan pembangunan Mesjid Raya oleh departemen agama sempat direspons
negative, yaitu sebagai penolakan terhadap aspirasi massa pendemo, namun,
setelah ada klarifikasi bahwa penurunan spanduk mesti dilakukan karena
sesungguhnya pemerintah telah mendengar tuntutan pendemo, maka salah paham itu
pun reda dan tidak melahirkan konflik. Itu adalah bukti bahwa masyarakat Papua hidup
dengan toleransi yang tinggi, dan di tanah Papua, Manokwari tidak pernah ada
perusakan atau pembakaran tempat ibadah agama apapun, fakta itu diakui oleh
tokoh-tokoh agama Kristen di Papua dan juga pejabat setempat.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa penetapan manokwari sebagai
kota Injil, yang muncul pada era otonomi khusus pada awalnya, terkait dengan
kondisi Papua yang tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia.
Kemudian hal itu diperparah dengan politisasi agama, khususnya dalam pemilihan
kepala daerah, yang mengakibatkan kecurigaan antar agama, yang kemudian membuat
agama-agama khususnya Kristen di Papua berpikir bagaimana melindungi diri
mereka dari ketidak adilan tersebut. Karena itu tidaklah mengherankan jika
usaha untuk menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil secara legal formal
mendapatkan momentumnya pada aksi demo pembangunan Mesjid Raya di kota
manokwari pada tanggal 17 November 2005, karena pembangunan Mesjid Raya itu
menjadi bukti akan adanya hegemoni agama Islam di Papua. Pada momentum
demonstrasi itulah kemudian komunitas Kristen Papua yang adalah mayoritas itu
sepakat untuk mengubah nama Manokwari yang awalnya adalah kota buah-buahan
menjadi kota Injil, dan itu dianggap sebagai realitas historis dari daerah
Manokwari, sekaligus untuk mengingatkan semua penduduk yang bermukim disana,
tanpa bermaksud mendiskriminasikan agama-agama lain. Keinginan agar julukan
kota Injil itu ditetapkan untuk Manokwari sesungguhnya bukan semata-mata
terkait usaha untuk mengingatkan masyarakat akan keberadaan Manokwari sebagai
gerbang masuknya Injil ke tanah Papua, karena ada diantara mereka yang
berpendapat bahwa itu adalah usaha melestarikan nilai-nilai Injil yang terbukti
telah mengangkat kehormatan masyarakat Papua, ide itu kemudian diterima oleh
banyak orang di Papua yang sedang menantikan harapan baru untuk keluar dari
ketertinggalan mereka dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Disini jelas ada hubungan antara kondisi ekonomi Papua, dan usaha untuk
memformalkan sebutan kota Injil, yaitu dengan harapan mengejar ketertinggalan
masyarakat Papua. Kekayaan sumber alam Papua dua kali lebih banyak dibandingkan
kekayaan seluruh pulau-pulau di Indonesia tapi sayangnya mereka jauh tertinggal
dibandingkan daerah-daerah lainnya. Pada sisi yang lain orang Papua mengakui
modernisasi Papua tidak dapat dilepaskan dari kontribusi masuknya Injil di
tanah Papua, dan ketertinggalan Papua ditafsirkan terjadi karena masyarakat
tidak setia dengan nilai-nilai Injil. Karena itu untuk menuju kejayaan Papua
Injil merupakan solusi penting.
Selang beberapa bulan, setelah aksi demo penolakan pembangunan Mesjid
Raya, lahirlah Perda Miras (larangan Minuman Keras) pada bulan Desember 2006.
Perda tersebut ditetapkan dalam usaha untuk mengukuhkan keberadaan Manokwari
sebagai kota Injil. Perda itu diakui berisi nilai-nilai Injil, karena
penggagasnya adalah komunitas Kristen, dalam hal ini gereja-geraja. Namun,
nilai-nilai itu juga dapat diterima oleh umat beragama lain, karena memang
nilai-nilai itu diakui bersifat universal.
Perda Miras mendapat sambutan hangat dari masyarakat manokwari, karena
dengan hadirnya Perda Miras, keamanan di Manokwari menjadi lebih baik, gangguan
para pemabuk yang biasanya hadir pada malam hari sebelum diberlakukannya perda
Miras, menurun secara drastis. Manokwati menjadi kota yang nyaman untuk
pendatang, juga bagi penduduk yang ingin berjalan-jalan di malam hari, demikian
juga bagi mereka yang biasa berdagang pada malam hari. Karena itu, kelahiran
perda larangan minuman keras itu dianggap cukup cukup efektif untuk menjaga
keindahan kota Manokwari sebagai Kota Injil. Perda Miras ini di motori oleh
pemimpin-pemimpin agama Kristen, dan kemudian menumbuhkan suatu keyakinan bahwa
usaha menghadirkan nilai-nilai Injil bukanlah sesuatu yang diskriminatif,
karena nilai-nilai Injil yang universal itu dapat diterima oleh semua agama
yang ada di Papua. Namun, pada konteks ini terjadi suatu kesalahan pandangan,
yaitu adanya klaim bahwa nilai-nilai universal Injil yang coba dituangkan dalam
perda Miras di klaim sebagai milik eksklusif orang Kristen., Seakan orang
Kristen tahu lebih baik tentang yang benar dibandingkan agama-agama lain.
Pada tanggal 1-2 Februari 2007, dalam rangka memperingati 152 tahun masuknya Injil di Papua, diadakanlah seminar dan lokakarya atas kerja sama Pemda Manokwari, Universitas Cendrawasih (UNCEN), STT-GKI dan Universitas Papua (UNIPA), yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Gereja dari berbagai denominasi, tokoh perempuan dan pemuda, bertempat di Gereja Kristen Injili Elim Kuali, yang dibuka oleh Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan. Pada akhir seminar itu diajukanlah usulan perda Manokwari Kota Injil, yang pada awalnya diberi nama “Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual”. Usulan tersebut kemudian dituangkan dalam format yang berbentuk perda, dan kemudian menyebar tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, apalagi kemudian berita itu menjadi laporan utama di majalah, Koran, internet bahkan sms-sms.
Manokwari yang terletak jauh di ujung Timur itu menjadi buah bibir bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, karena radio Nederland juga pernah mewawancarai tokoh-tokoh Masayarakat Papua, dan isinya beredar luas di internet, dan karena penyebaran berita yang begitu cepat, meski raperda Injil itu baru wacana, baru berupa usulan masyarakat Kristen Papua tentang bagaimana melindungi moral masyarakat.
Melihat cara penyebaran draft usulan perda tersebut, dapat dimengerti, mengapa timbul beragam penafsiran tentang Perda Injil, dan tidak sedikit yang beraksi keras serta melakukan demo penolakan, walau informasi yang diterima tidak jelas, karena memang sesungguhnya perda Injil itu sendiri belum pernah ada, dan sesuatu yang asing dalam pemikiram Kristen, apalagi tidak banyak yang memiliki draft usulan itu sebagaimana aslinya.
Pada tanggal 1-2 Februari 2007, dalam rangka memperingati 152 tahun masuknya Injil di Papua, diadakanlah seminar dan lokakarya atas kerja sama Pemda Manokwari, Universitas Cendrawasih (UNCEN), STT-GKI dan Universitas Papua (UNIPA), yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Gereja dari berbagai denominasi, tokoh perempuan dan pemuda, bertempat di Gereja Kristen Injili Elim Kuali, yang dibuka oleh Bupati Manokwari, Dominggus Mandacan. Pada akhir seminar itu diajukanlah usulan perda Manokwari Kota Injil, yang pada awalnya diberi nama “Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual”. Usulan tersebut kemudian dituangkan dalam format yang berbentuk perda, dan kemudian menyebar tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, apalagi kemudian berita itu menjadi laporan utama di majalah, Koran, internet bahkan sms-sms.
Manokwari yang terletak jauh di ujung Timur itu menjadi buah bibir bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, karena radio Nederland juga pernah mewawancarai tokoh-tokoh Masayarakat Papua, dan isinya beredar luas di internet, dan karena penyebaran berita yang begitu cepat, meski raperda Injil itu baru wacana, baru berupa usulan masyarakat Kristen Papua tentang bagaimana melindungi moral masyarakat.
Melihat cara penyebaran draft usulan perda tersebut, dapat dimengerti, mengapa timbul beragam penafsiran tentang Perda Injil, dan tidak sedikit yang beraksi keras serta melakukan demo penolakan, walau informasi yang diterima tidak jelas, karena memang sesungguhnya perda Injil itu sendiri belum pernah ada, dan sesuatu yang asing dalam pemikiram Kristen, apalagi tidak banyak yang memiliki draft usulan itu sebagaimana aslinya.
C. Kontroversi Isi Draft Perda Injil
Draft berupa usulan pemimpin-pemimpin gereja
itu, khususnya Gereja Kristen Injili di tanah Papua, sebagai pelopor utama yang
juga kemudian mengikut sertakan gereja-geraja lainnya, memang memiliki
pasal-pasal yang dianggap diskriminatif. Adanya pasal-pasal yang diskriminatif
tersebut diakui dengan jujur baik oleh tokoh-tokoh agama di Papua yang telah
membaca isi draf tersebut, khususnya Badan Kerja sama Gereja (BKSG), juga
pejabat di kabupaten Manokwari, namun mereka tetap bersikukuh itu bukanlah
perda, tapi masih merupakan usulan masyarakat Kristen Papua, khususnya GKI,
karena untuk menjadi raperda, draft itu harus melewati pembahasan bersama.
Secara tegas Sekretaris Daerah (Sekda) Manokwari mengatakan, “Perda Manokwari
Kota Injil belum pernah ada!” Menurutnya, yang ada hanyalah usulan dari
masyarakat Kristen, dan usulan tersebut telah kami terima, namun itu mesti
melewati team legislasi, untuk kemudian disusun dalam bentuk perda. Dan dalam
proses penyusunan itu bisa saja bagian-bagian yang dianggap diskriminatif itu
dihilangkan. Usulan itu dihadirkan sebagai respons terhadap pidato-pidato
tentang Manokwari Kota Injil yang biasa diucapkan Bupati Dominggus Mandacan.
Hal yang sama juga dijeleskan oleh, Kabag Hukum Manokwari, Robert K. R.
Hammar, ia berkomentar, “Perda Manokwari Kota Injil, usulan awalnya adalah
Perda pembinaan Mental dan Spiritual, itu bukan perda agama, karena tidak
mungkin menyamakan nilai-nilai Injil yang adalah perintah Tuhan, dengan perda
yang adalah buatan manusia, itu justru akan mereduksi nilai Injil itu sendiri.”
Pemerintah daerah menampung usulan itu dan akan disusun kembali oleh team
legislasi dalam bentuk format raperda untuk kemudian diadakan pembahasan. Ia
juga mengatakan, “dalam raperda yang akan dibahas itu tentunya tidak akan ada
nilai-nilai yang bersifat diskriminatif, tetapi pastilah akan berisi
nilai-nilai yang universal yang dapat diterima oleh semua”. Berbeda dengan itu, Pdt Sherley, seorang
pendeta di Manokwari, berkomentar, dalam semiloka yang menggagas usulan perda
kota Injil itu umat Kristen yang hadir menyetujuinya, jadi kami rindu membuat
suatu perda yang akan membuat Manokwari sebagai kota Injil. Ia juga
menambahakan, “Indonesia bukan negara Islam, jika di Aceh diijinkan ditetapkan
perda syariah, maka mengapa kami tidak boleh menetapkan perda kota Injil, lagi
pula perda kota Injil berbeda dengan perda syariah yang diskriminatif, sedang
perda kota injil tidak bersifat diskriminatif”. Sedang, Pendeta Bastian
sanbalai, salah seorang pembicara dalam semi loka dan yang juga memberikan
kontribusi usulan untuk pembuatan perda pembinaan mental dan spiritual
mengatakan, “aturan yang akan ditetapkan dalam perda itu adalah nilai-nilai
yang universal, sebagaimana Injil itu berisi nilai-nilai universal itulah yang
kami usulkan, jika kemudian ada usulan-usulan yang tampak berisi nilai-nilai
yang diskriminatif itu bisa saja didialogkan, hanya saja memang perda itu
merupakan proteksi terhadap umat Kristen dari usaha-usaha islamisasi yang
gencar dilaksanakan di Papua.”
Mengenai larangan penggunaan Jilbab yang ada dalam draft raperda Injil, ia berkomentar, “Jilbab merupakan atribut Islam, otomatis juga media penyebaran agama, kami tidak melarangnya, hanya saja penggunaannya pada tempatnya, misalnya digunakan untuk beribadah, namun tidak pada segala tempat, apalagi pada pegawai negeri yang telah mempunyai seragam khusus. Jadi menurutnya tidak ada larangan berjilbab dalam usulan itu, yang ada hanyalah pembatasan. Komentar ini juga dinyatakan oleh tokoh-tokoh agama lainnya dan juga pejabat di kabupaten Manokwari. Selain tentang penggunaan Jilbab, hal lain yang dianggap diskriminatif dan disebarkan secara luas tanpa melihat latar belakang usulan tersebut menurut beberapa tokoh agama dan pemerintah di Manokwari adalah persoalan larangan kegiatan publik pada hari minggu. Menurt tokoh-tokohDalam wawancara dengan penulis mereka menjelaskan, kehadiran kapal penumpang yang menurunkan penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu di kota Manokwari yang kecil itu, sangat mengganggu ibadah Kristen, tidak jarang demi mendapatkan rupiah, anggota jemaat, khususnya “pengojek” lebih memilih untuk tidak menghadiri kebaktian minggu, ini menjadi keprihatinan tokoh-tokoh gereja, karena itu pemerintah diminta tidak mengijinkan kapal masuk pada hari munggu, atau setidaknya setelah jam 12 siang, setelah kebaktian Kristen usai. Hal lain yang menimbulkan reaksi negative terhadap usulan perda itu adalah masalah suara azan, menurut tokoh-tokoh agama disana, itu tidak perlu dikumandangkan, karena mengganggu umat yang beragama lain, apalagi ini kota Injil. Jadi yang kita minta adalah penghargaan keberadaan kami sebagai umat Kristen yang mayoritas, kami tidak membelenggu kebebasan beragama, tapi sudah semestinya umat Islam juga bertoleransi dengan mayoritas Kristen disini. Menurut beberapa para tokoh agama Papua, itu bukan tindakan diskriminatif, tapi diakui itu adalah proteksi terhadap umat Kristen. Bukti bahwa Perda kota Injil sesungguhnya masih berada dalam tataran wacana terlihat pada keragaman penafsiran terhadap draft tersebut. Tampak jelas usulan tersebut merupakan ungkapan keresahan pemimpin-pemimpin Gereja di Papua akan ketakberdayaan mereka mengangkat taraf kehidupan masyarakat asli Papua ditengah tingginya jumlah pendatang yang memasuki tanah Papua.
Setelah semiloka yang melahirkan usulan raperda pembinaan mental dan spiritual itu, maka di kota Manokwari terpancang 6 plang besar yang sangat indah yang berisi pernyataan “Manokwari Kota Injil”, pada pinggir jalan masuk kota manokwari juga terpampang tulisan “Selamat Datang Di Manokwari Kota Injil, Tuhan Memberkati.” Plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil itu juga terpampang disudut-sudut jalan kota Manokwari, bahkan sampai kedesa-desa. Deklarasi Manokwari kota injil dengan pemasangan plang-plang itu menurut Agustina, seorang Rohaniwati Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPII), yang adalah wakil ketua Majelis perwakilan YPPII di pasang setelah Semi loka yang mengusulkan adanya perda Manokwari Kota Injil. Plang-plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil, baik dalam bentuknya yang amat indah, atau yang sederhana, tampak terawat dengan baik, dan menjadi assesoris yang memperindah Kota Manokwari yang memang dianuggerahi keindahan alamnya, dan juga kesuburan tanahnya. Sebutan Manokwari kota Injil tampaknya tidak mengagetkan masyarakat Manokwari. Yang masih menjadi perdebatan adalah Perda Injil. Namun, itu pun masih berada dalam tataran wacana.
III. Perda Injil Dalam Persfektif Kristiani
Mengenai larangan penggunaan Jilbab yang ada dalam draft raperda Injil, ia berkomentar, “Jilbab merupakan atribut Islam, otomatis juga media penyebaran agama, kami tidak melarangnya, hanya saja penggunaannya pada tempatnya, misalnya digunakan untuk beribadah, namun tidak pada segala tempat, apalagi pada pegawai negeri yang telah mempunyai seragam khusus. Jadi menurutnya tidak ada larangan berjilbab dalam usulan itu, yang ada hanyalah pembatasan. Komentar ini juga dinyatakan oleh tokoh-tokoh agama lainnya dan juga pejabat di kabupaten Manokwari. Selain tentang penggunaan Jilbab, hal lain yang dianggap diskriminatif dan disebarkan secara luas tanpa melihat latar belakang usulan tersebut menurut beberapa tokoh agama dan pemerintah di Manokwari adalah persoalan larangan kegiatan publik pada hari minggu. Menurt tokoh-tokohDalam wawancara dengan penulis mereka menjelaskan, kehadiran kapal penumpang yang menurunkan penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu di kota Manokwari yang kecil itu, sangat mengganggu ibadah Kristen, tidak jarang demi mendapatkan rupiah, anggota jemaat, khususnya “pengojek” lebih memilih untuk tidak menghadiri kebaktian minggu, ini menjadi keprihatinan tokoh-tokoh gereja, karena itu pemerintah diminta tidak mengijinkan kapal masuk pada hari munggu, atau setidaknya setelah jam 12 siang, setelah kebaktian Kristen usai. Hal lain yang menimbulkan reaksi negative terhadap usulan perda itu adalah masalah suara azan, menurut tokoh-tokoh agama disana, itu tidak perlu dikumandangkan, karena mengganggu umat yang beragama lain, apalagi ini kota Injil. Jadi yang kita minta adalah penghargaan keberadaan kami sebagai umat Kristen yang mayoritas, kami tidak membelenggu kebebasan beragama, tapi sudah semestinya umat Islam juga bertoleransi dengan mayoritas Kristen disini. Menurut beberapa para tokoh agama Papua, itu bukan tindakan diskriminatif, tapi diakui itu adalah proteksi terhadap umat Kristen. Bukti bahwa Perda kota Injil sesungguhnya masih berada dalam tataran wacana terlihat pada keragaman penafsiran terhadap draft tersebut. Tampak jelas usulan tersebut merupakan ungkapan keresahan pemimpin-pemimpin Gereja di Papua akan ketakberdayaan mereka mengangkat taraf kehidupan masyarakat asli Papua ditengah tingginya jumlah pendatang yang memasuki tanah Papua.
Setelah semiloka yang melahirkan usulan raperda pembinaan mental dan spiritual itu, maka di kota Manokwari terpancang 6 plang besar yang sangat indah yang berisi pernyataan “Manokwari Kota Injil”, pada pinggir jalan masuk kota manokwari juga terpampang tulisan “Selamat Datang Di Manokwari Kota Injil, Tuhan Memberkati.” Plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil itu juga terpampang disudut-sudut jalan kota Manokwari, bahkan sampai kedesa-desa. Deklarasi Manokwari kota injil dengan pemasangan plang-plang itu menurut Agustina, seorang Rohaniwati Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPII), yang adalah wakil ketua Majelis perwakilan YPPII di pasang setelah Semi loka yang mengusulkan adanya perda Manokwari Kota Injil. Plang-plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil, baik dalam bentuknya yang amat indah, atau yang sederhana, tampak terawat dengan baik, dan menjadi assesoris yang memperindah Kota Manokwari yang memang dianuggerahi keindahan alamnya, dan juga kesuburan tanahnya. Sebutan Manokwari kota Injil tampaknya tidak mengagetkan masyarakat Manokwari. Yang masih menjadi perdebatan adalah Perda Injil. Namun, itu pun masih berada dalam tataran wacana.
III. Perda Injil Dalam Persfektif Kristiani
Meski Perda Injil belum
pernah ada di tanah Papua, demikian juga di Indonesia, dan yang ada hanyalah
penetapan Kota Injil bagi Manokwari, tanpa Perda Injil, namun, harapan
dihadirkannya perda Injil di Manokwari bukan tidak mungkin, apalagi jika
persoalan ekonomi masyarakat Papua itu tidak segera mengalami perubahan.
Pendatang dari luar Papua yang terus berdatangan, dengan banyak cerita
keberhasilan mereka, tentu akan membuat masyarakat Papua, khususnya Kristen
Papua yang makin terpinggirkan akan berusaha untuk mencari perlindungan dari
Perda Injil. Pada konteks ini penting untuk memahami apakah perda Injil itu
sesuai dengan pandangan Kristiani atau tidak, sehingga respon terhadap perda
Injil yang dihembuskan di kota Manokwari lebih proporsional. Kitab suci umat Kristen melaporkan bahwa pada
masa Perjanjian Lama, Israel atau umat Allah (dalam pengertian saat ini bukan
hanya Israel yang disebut umat Allah, tetapi semua yang mengabdi pada Tuhan)
berada dalam pemerintahan teokrasi. Tetapi itu merupakan teokrasi yang
demokratis, artinya seorang raja tidak bisa berbuat sekehendak hatinya, karena
Raja juga umat, dan semuanya bertanggung jawab ke pada Tuhan. Pemerintahanan pada masa itu juga memisahkan
antara jabatan agama dan jabatan pemerintahan, meski tidak secara total (kedap
air). Kemudian pemerintahan itu juga memiliki suatu kekhususan, yakni hanya ada
satu agama dalam kerajaan. Jadi apabila ada yang menghubungkan perda Injil
dengan pemerintahan Kitab Suci Perjanjian Lama, itu jelas tidak memiliki
kesesuaian. Apabila mengacu pada
Perjanjian Baru, salah satu dasar penting bagi hubungan agama dan Negara adalah
apa yang dikatakan Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan
kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah (lukas
20:25). Ini dianggap dasar bagi umat Kristen, bahwa Negara dan agama adalah
sesuatu yang terpisah. Dalam perjalan
sejarah memang ada beberapa pemikiran tentang hubungan agama dan Negara, namun
bagi umat Kristen sesungguhnya hubungan antar agama dan Negara sesuatu yang
telah selesai, Yaitu Negara dan agama terpisah, namun keduanya memiliki
hubungan koordinatif. Agama dan negara sama-sama bertanggung jawab pada Tuhan.
Namun agama tidak boleh menunjukan hegemoninya terhadap Negara demikian juga
sebaliknya, Negara tidak boleh masuk dalam ruang privat agama. Itulah sebabnya
maka, umat Kristen seharusnya menerima Pluralisme agama. Karena dalam hati nuraninya manusia adalah
raja, dan tidak boleh seorang pun memaksakan kepercayaan atau agama yang harus
dianut seseorang. Demikian juga dalam agama tidak boleh memakai tangan agama
untuk menghambat agama lainnya. Hubungan
antar agama yang tepat adalah koeksistensi (live and let live), jadi agama
harus mengakui ketergantungannya satu sama lain (interdepedensi), dan kemudian
baru dapat terjadi dialog agama-agama yang jujur untuk kemudian merumuskan
common good. dan dalam menjalankan misinya tidak boleh membiarkan agama lain
mati (live and let die). Dengan demikian
jelaslah menurut pemikiran Kristen, undang-undang yang menaungi kehidupan orang
banyak itu harus berisi nilai-nilai yang bersifat universal, atau nilai-nilai
kebaikan bersama. Disana tidak adapembenaran terhadap diskriminasi agama, semua
agama berhak untuk memberikankontribusinya, dan agama-agama harus mendorong
agama-agama lain untuk dapat memberikan kontribusi bersama dalam pembentukan
undang-undang.
Jelaslah bahwa apa yang dimuat dalam draft Raperda Pembinaan Mental dan
Spiritual yang kemudian berubah menjadi Draft Raperda Injil, atau Penataan
Manokwari Sebagai daerah Injil, bukan hanya isinya yang tidak sesuai dengan
pandangan iman Kristen. Tapi keberadaan Perda Injil itu sendiri bertentangan,
karena itu merupakan hegemoni agama Kristen terhadap agama-agama lain. Agama
berusaha memakai Negara untuk kepentingan privat agama, dan akibatnya akan
melahirkan diskriminasi terhadap agama-agama lain.
IV. Penutup
Sebutan manokwari sebagai daerah Injil atau kota Injil sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang baru. Sebutan itu sudah diakui oleh masyarakat Kristen Papua pada
umumnya sejak lama, karena hal itu terkait peristiwa masuknya Injil ketanah
Papua dengan manokwari sebagai pintu gerbangnya. Tempat missionari Protestan
pertama menginjakkan kaki di tanah Papua. Itulah sebabnya mengapa perubahan
nama Manokwari dari kota buah-buahan menjadi kota Injil, dengan pemasangan
plang-plang yang berisi pernyataan “Manokwari Kota Injil”dan terbilang cukup
menonjol tidak mengagetkan masyarakat Papua.
Namun, karena perubahan nama itu mengambil momentum pada Demonstrasi
penolakan Mesjid Raya, perubahan itu menimbulkan perasaan terancam komunitas
Islam di Papua, karena dikaitkan dengan kecurigaan antar agama, ketakutan itu
khususnya ada pada pendatang di Papua. Kemudian hal itu diperparah dengan
usulan rancangan Peraturan Pembinaan Mental Spiritual yang kemudian berubah
menjadi Raperda Penataan Manokwari sebagai daerah Injil (Perda Injil), apalagi
draft itu ditafsirkan tanpa memahami latar belakang masyarakat Papua. Untuk
menetralisir hal ini peran pemerintah dan tokoh-tokoh agama, khususnya kaum
moderat sangat diharapkan bagi terpeliharnya kedamaian di tanah Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!