|
ditulis oleh: Fransiskus Kasipmabin
Ketika sore itu, tepatnya pada hari selasa
(21/09/2013), sejumlah mahasiswa Papua melakukan diskusi bebas di kantin
Realino Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekitar pukul 19.00, aktifitas
perkuliahan di universitas tersebut, berangsur-angsur mulai sunyi dari
keramaian kampus. Hanya disekitar Kantin realino sejumlah mahasiswa Fakultas
Sastra, program studi Ilmu sejarah sedang asyik melakukan diskusi. Mereka
diskusi apa, entalah.
Dua mahasiswa Universitas Dharma Dharma
Yogyakarta sedang asyik diskusi, mereka adalah anggota NATAS. Natas adalah
lembaga Pers Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Mereka sibuk
dengan sebuah kertas putih yang berisi tulisan-tulisan, tak jauh dari meja
diskusi kami di ruangan tersebut. Saya mengenal mereka. Mereka adalah anggota
Natas. Baiklah lupakan saja mereka!
Sejumlah mahasiswa Papua yang sedang kuliah
beberapa kampus di Yogyakarta, kumpul di kantin realino USD. Entah bagaimana
mereka bisa berkumpul di realino? Yang jelas beberapa kawan kawan dari mereka
diundang oleh salah seorang kawan untuk menceritakan pengalamannya, ketika
Dia berliur di Kampung halamannya. Selain itu, 5 menit kemudian dua orang
kawan kami muncul. Mereka mulai canda-tawa sambil memesan kopi di samping
kios.
Mereka adalah Sevianus Urwan, Melkior
Sitokdana, Uski Bidana, Isak Kalka, FX. Kasipmabin, dan dua kawan diantaranya
adalah Ino Urpon dan Yuling Malo. Bagaimana kisah mereka dalam diskusi bebas
tersebut? Berikut laporan Komapo News dari tempat diskusi.
Pada awalnya, liburan panjang sedang menanti
di depan mata (Liburan semester). Sebagian dari mahasiswa Papua yang
kuliah di Yogyakarta bergegas meninggalkan yogyakarta, demi menemui keluarga
melepaskan kerinduan bersama di kampung halamannya. Yang jelas beda dengan
salah satu mahasiswa Papua ini. Dia Adalah Sevianus Urwan, salah satu
mahasiswa sekolah Tinggi Bahasa Asing Yogyakarta.
Dia berkisah “selama saya berlibur di
Papua, kurang lebih tiga bulan. Saya berlibur di kampung halaman,
tepatnya di kampung Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang. Selama liburan
tersebut saya meliput berita di Jayapura, dan di daerah Kampung halaman (di
muat di media Komapo)”. Selain itu, Dia menceriterakan pengalamnnya ketika
dia berada di wilayah distrik Okbab, saya membantu mendirikan sebuah gedung
sekolah Menengah Pertama (SMP), membantu mengajar dari kelas satu sampai
dengan kelas enam Sekolah Dasar.
Disana (Okbab) Urwan menemui beberapa
masalah, seperti tidak ada guru, sehingga proses belajar mengajara di SD-SMP
menjadi kendala besar. Selama tiga bulan saya membantu beberapa guru (2
orang) mengajar semua mata pelajaran dari SD-SMP. Selain itu, sarana dan para
sarana pendidikan tidak ada.
Masalah kedua, pemahaman masyarakat tentang
bagaimana mengelolah uang dan bagaimana memulai suatu usaha. Hal ini menjadi
masalah serius di masyarakat di wilayah ini. Karena banyak uang yang beredar
di masyarakat seperti dana respek, BLM, Bantuan Sosial, dan lain-lainnya.
Dana ini tidak diguakan dengan baik. Salah satu program dari dana Respek
adalah mengembangkan usaha kios. Namun lagi-lagi gagal dalam usaha.
Menyangkut bangkrutnya usaha kios, kata mereka bahwa masyarakt biasa meminjam
uang di kios tersebut dan lupa membayar utang mereka.
Masalah ketiga, menemui penambangan emas di
gunung Ayup, ketengban, Pegunungan Bintang. Mereka mengambil emas secara
illegal. Penambangan illegal tersebut mulai beroperasi pada tahun 2011 silam.
Pelaku pengambilan emas secara illegal adalah orang-orang China. Masyarakat
di daerah sekitar itu tidak tahu, bahwa orang asing tersebut mengambil Emas
di gunung. Mereka produksi di Jawa timur. Katanya “Saya tau dari salah
seorang teman di sana bahwa mereka masuk di wilayah tersebut dan ekploitasi
emas di sana. Teman itu merupakan salah satu karyawan. Sehingga saya berharap
kita bisa advokasi tentang persoalan ini” katanya.
Begitulah jalan cerita yang diceritakan
oleh Sevianus Urwan, ketika berlibur di kampung halamannya. Dia berharap
“kita bisa mengajar di sana, walaupun latar belakang pendidikan kita bukan
jurusan pendidikan. Memang masyarakat di sana membutuhkan kita. Dengan
demikian kita harus tau segala-galanya. Kita harus belajar apa saja di sini.
Karena saya sendiri mengalaminnya, ketika waktu liburan di sana. Saya
dipercayakan untuk melakukan banyak hal, walaupun kemampuan masih terbatas, saya
mampu melaksanakan tanggungjawab yang diberikan kepada saya” katanya.
Setelah menceritakan pengalamannya di
kampung halaman, FX.Kasipmabin berpendapat bahwa “ jika kita melihat
secara umum penyebaran gedung-gedung sekolah di daerah pedalaman Pegunungan
Bintang banyak sekali, sehingga sebenarnya banyak anak diberi kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang selaknya seperti daerah lain di wilayah
Papua dan Indonesia. Namun sayangnya belum dilengkapi dengan pendukung,
terutama tenaga pengajar, fasilitas seperti buku ajar, komputer, kapur tulis
dan lain-lainnya, sehingga kadangkala menjadi kendala dalam proses belajar
meng-ajar di sekolah (Gedung) tersebut”.
Katanya lagi, bahwa logisnya seberapa
outtput (siswa/i) yang diluluskan dan disiapkan oleh pemerintah untuk
mendapatkan pendidikan di sekolah lanjutan, memenuhi kampanye pendidikan
gratis bagi rakyatnya dan target pendidikan (Kesiapan SDM) seperti bagaimana
yang dikampanyekan, maka menurut hemat saya kita bertolak dan melihat dari
persentase penduduk di wilayah tersebut.
Jika persentase tingkat kelahiran anak
setiap tahun lebih meningkat, maka setiap tahun tingkat anak masuk sekolah
(kesempatan mendapatkan pendiidkan bagi anak umur 7-12) pun meningkat. Dengan
demikian tingkat (persentase) kelulusan SD,SMP, SMA, dan Perguruan tinggi
meningkat pula. Jika sebaliknya tingkat kelahiran bayi di Pegunungan Bintang
berkurang, maka harapan akan menyiapkan SDM semakin sulit untuk mendapatkan
target, katanya dalam diskusi tersebut.
“Saat ini pengamatan saya (Pengamatan pada
saat liburan di Oksibil, bulan Juni-bulan Agustus 2013), di Oksibil ibukota
Kabupaten Pegunungan Bintang mengalami penurunan yang amat sangat luar biasa.
Terutama tingkat kematian ibu dan anak semakin hari-semakin meningkat (maaf
tidak ada data tetapi yang saya lihat, mendengar dan rasakan selama 3 bulan
di Oksibil seperti itu). Anak umur 0-7 tahun semakin berkurang. Dengan
demikian, jumlah siswa baru yang terdaftar menjadi murid di sekolah dasar
merosot jauh dari harapan sekolah.
Dengan demikian jumlah siswa yang lulus SD
berkurang, sehingga penyebaran di sekolah menengah Pertama di Oksibil dan
sekitarnya berkurang. Misalnya di wilayah Oksibil terdapat 2 SMP dan distrik
Okaom terdapat sebuah SMP model satu atap. Begitu pula berdampak pada tingkat
kelulusan di tingkat SMP. Terbukti, bahwa persentase tingkat (jumlah) siswa
yang lulus pada tahun 2013 sangat minim. Misalnya jumlah anak yang terdaftar
menjadi siswa baru di tiga Sekolah menengah (2 SMA dan 1 SMK) di Oksibil
pada tahun 2013 menurun drastis. Di SMA YPPK Bintang Timur Mabilabol 19
anak, SMA Negeri 1 Oksibil berjumlah 15 anak, sedangkan jumlah siswa baru di
SMK Negeri 1 Oksibil 96 anak” katanya. Dengan demikian, dia (Frans)
berharap pemerintah daerah setempat memperhatikan sumber sumber vital seperti
memperbaiki gizi ibu dan anak dan lainnya.
Selain itu, katanya “sumber lain melaporkan
Untuk IPM di Papua, khusus di kabupaten Pegunungan Bintang masih dibawah
Kabupaten Tolikara, Asmat, Mappi, Dogiyai, Yahukimo dan Lanny Jaya padahal
beberapa kabupaten dimekarkan pada saat bersamaan melalui UU No. 26 Tahun
2002, kecuali kabupaten Dogiyai, dan Lanny Jaya dibentuk pada tanggal 4
Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008. IPM untuk
kabupaten Pegunungan Bintang angka harapan hidup 66.00 %, angka melek huruf
32.50 %, rata-rata lama sekolah 2.54 %. pengeluaran perkapita disesuikan
588.02 % dan IPM 49.45”.
Amor Malo mengatakan, bahwa bangunan gedung
sekolah yang dibangun di wilayah Pegunungan Bintang itu merupakan sebuah
proyek yang dikerjakan oleh CV. Pemilik CV tersebut sebagian besar dimiliki
oleh anak asli daerah yang berlatar belakang PNS. Mereka mengerjakan tidak
profesional. Kadangkalah dana digunakan untuk kepentingannya
sendiri, sehingga pembangunan gedung dan sarana dan para sarana tidak
rampung.
Disi lain, Melkior Sitokdana, berpandangan
bahwa solusi dari saya adalah untuk menyelamatkan rakyat dari ketertinggalan
akses pendidikan adalah kembangkan program gerakan Pegunungan Bintang
mengajar, dan atau gerakan Papua Mengajar. Kita harus mengajar, mahasiswa
yang hendak berlibur ke Kampung halaman, setidaknya harus mengajar.
Mengajar apa saja di sana, baik mengajar di sekolah maupun di luar sekolah.
Mengajar rakyat tentang segala hal yang tentunya membantu mereka keluar dari
kebodohan, ketertinggalan dari segala-galanya. Saya berkeinginan mengajar di
sana, seketika selesai dari Magister Teknik Elektro di UGM. Saya berencana
mengikuti pelatihan mengajar selama 6 bulan di program Indonesia mengajar
sehingga kelaknya bisa dapat sharing ilmu pengatahuan kepada orang Papua”
katanya.
Uski Bidana menambahkan, saya mendukung
yang dikatakan Sevi dan melkior bahwa walaupun kita berlatar belakang
pendidikan yang berbeda, saya berharap kita harus mengajar supaya masyakat
keluar dari pradigma orang Indonesia bahwa orang Papua itu bodoh. Saya pernah
mengajarkan tentang bagaimana memulai usaha produk lokal sampai memasarkan
produk lokal ke luar daerah, terbukti masyarakat bisa melakukannya (kebun
jeruk di kampung Apom Kiwirok).
Selain itu, liburan semester ini
(juni-agustus) di kiwirok, dua mahasiswi dari KOMAPO mengajar di sana. Mereka
memanfaatkan liburan untuk mengajar di daerah tersebut. Katanya kepala
kampung berkeinginan dan berkomitmen suatu saat nantinya akan saya membiayai
tiket PP untuk mengajar apa saja yang mendukung warga kampung keluar dari
ketidaktauan.
Ino Urpon berpandangan, bahwa untuk menekan
harga barang di wilayah kabupaten Pegunungan Bintang, pemanfaatan
sumber-sumberdana yang mengalir ke wilayah tersebut dan penggunaan dana
sebaik mungkin, maka perluh ada kebijakan khusus yang dibuat oleh pemerintah
setempat. Kebijakan khusus misalnya harga pengiriman barang disubsidi oleh
pemerintah, perluh ada gerakan mengajar dan sosialisasi bagaimana
berwirausaha dengan baik di tingkat masyarakat lokal. Pemerintah terkait
tentunya melakukan pendampingan khusus terhadap masyarakat setempat.
Ia menambahkan juga bahwa konsep
pengembangan ekonomi lokal perluh diperhatikan serius oleh pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat dan didukung oleh mahasiswa tentunya. Saya merasa
basis-basis produksi sumber daya lokal ditempatkan di lokasi-lakis tertentu.
Misalnya di wilayah ketengban memproduksi Daging Babi, wilayah Abmi produksi
buah terung, margisa dan sejenisnya, wilayah kiwrok dan sekitarnya
memproduksi sayur dan buah jeruk, wilayah Batom produksi beras, dan di
wilayah Iwur produksi Ikan, dsb.
Rantai pengembangan produksi ekonomi lokal
ini tentu membutuhkan dana, tentunya pemerintah sebagai pemangku kepentingan
menganggarkan anggaran sehingga masyarakat mengelola sumber sumber daya
tersebut. Setelah itu, untuk kebutuhan hidup, maka pemerintah menekan harga
dengan memberikan subsidi untuk pengiriman barang oleh pesawat udara,
sehingga setiap distrik mengambil bagian dalam proses jual- beli bahan
produksi. Dengan demikian predaran uang hanya di lingkungan masyarakat
Pegunungan Bintang” kata Ino.
Sampai saat ini laporan bupati Pegunungan
Bintang, dana masyarakat Pegunungan Bintang yang keluar dari warga Oksibil
sebesar 300 Miliar per bulan. Dana itu bersumber dari membeli Togel per hari.
Apa lagi dana konsumsi per hari. Karena warga di ibukota kabupaten membeli
kebutuhan keluarga di kios dan warung makan. Warga disekitar Oksibil mereka
malas kerja, sejak hadirnya kabupaten di tengah-tengah mereka. Dengan
demikian gerakan mengajar di segala bidang perluh untuk diselenggarakan
dipedalaman Pegunungan Bintang. Agenda mendesak, karena melalui ini tentanya
menyelamatkan generasi masa depan.
Fransiskus Kasipmabin, Mahasiswa Papua
Kuliah di Yogyakarta
|