MATERI
Pemerintah Indonesia
dinilai tidak melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
konsisten kebijakan Otsus yang merupakan keputusan politik. Pemerintah
juga tidak menyadari bahwa otsus adalah alat tawar-menawar dan jalan
penyelesaian menang-menang antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia tentang
status politik Papua dalam wilayah Indonesia. Yang jelas dan
pasti, UU Otsus dibuat karena seluruh rakyat Papua menyatakan aspirasi
politik untuk keluar dari wilayah Indonesia. Tapi, sayang, Otonomi
Khusus sebagai solusi politik yang berprospek damai dan bermartabat itu
dinyatakan gagal total dari mayoritas peserta evaluasi otsus.
Yang tidak disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan hadiah Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua. Pemerintah juga lupa, Otsus bukan pemberian cuma-cuma dari pemerintah kepada rakyat Papua. Otsus tidak lahir dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tidak tahu latar belakang dan fakta sejarah lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua.
Yang tidak disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan hadiah Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua. Pemerintah juga lupa, Otsus bukan pemberian cuma-cuma dari pemerintah kepada rakyat Papua. Otsus tidak lahir dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tidak tahu latar belakang dan fakta sejarah lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua.
Latar belakang dan fakta sejarah
lahirnya otsus sebagai berikut. Tim 100 sebagai duta-duta rakyat Papua
menghadap Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie pada 26 Februari 1999 di
Istana Negara Jakarta. Tim 100 dari Papua menyampaikan: “ Bahwa permasalahan
mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan keamanan di Papua Barat
(Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata karena
kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada 1
Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara bangsa-bangsa
lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik bagi sebuah
harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat,namun telah dianeksasi oleh
Negara Republik Indonesia.”
Oleh sebab itu, dengan jujur
kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif
lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia
guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.” “Maka
pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia,
kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
Pertama, kami bangsa Papua
Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka
dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi. Kedua, segera membentuk
pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai, dan bertanggungjawab,
selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
Ketiga, Jika tidak tercapai
penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua, maka:
(1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik
Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); (2) Kami
bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik
Indonesia tahun 1999.
Tidak saja berhenti pada Tim 100, namun Rakyat Papua mengadakan Musyarawah Besar (MUBES) pada 23 - 26 Pebruari 2000 di Hotel Sentani Indah. Dalam MUBES, rakyat Papua telah membicarakan hak-hak politik, hukum, keadilan dan kemanusiaan rakyat Papua sebagai bangsa menyampaikan komunike politik bangsa Papua sebagai berikut :
1. Bangsa Papua menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada presiden Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang telah dengan penuh perhatian mendengar jeritan hati rakyat Papua mengenai identitas diri kami bangsa Papua sehingga menetapkan perubahan nama Irian menjadi Papua pada tanggal 31 desember 1999. Dan oleh karena itu, kami akan seterus dan selamanya menggunakan nama Papua sebagai sebutan untuk menggantikan nama Irian. Penghargaan yang sama kami sampaikan juga kepada presiden RI ke tiga B.J. Habibie yang telah menerima rakyat Papua untuk berdialog pada 26 Pebruari 1999 di istana negara Jakarta.
2. Rakyat Papua menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan bangsa Papua dari Belanda melalui PBB kepada pemerintah Indonesia pada 1 mei 1963. Penyerahan kedaulatan bangsa Papua tersebut, tidak pernah mendapat persetujuan dari rakyat dan dewan nasional Papua Barat yang mempunyai hak dan kewenangan untuk menentukan nasib bangsa Papua.
3. Bahwa sebagai konsekuensi dari tidak sahnya peralihan kedaulatan rakyat bangsa Papua oleh Belanda melalui PBB kepada Indonesia, maka rakyat Papua dengan tegas menolak hasil pepera yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962. Penolakan seluruh hasil pepera yang diselenggarakan dan dimenangkan oleh Indonesia pada tahun 1969 tersebut berdasarkan alasan sebagai berikut:
(a) Pelaksanaan pepera tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 pasal 18 butir d, “ yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa - pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan act of self determination harus sesuai dengan tata kebiasaan atau praktek international”, atau one man one vote. (b) Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self determination yang disebut pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua, dengan mengintimidasi secara politik dan militer, menangkap, memenjarakan dan membunuh rakyat Papua yang menentang cara-cara Indonesia dalam melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement.
(c)Bahwa 1026 orang yang di pilih Indonesia yang menentukan hasil pepera sebagai kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua, hanya 0,8 % dari 800.000, rakyat Papua. Mayoritas rakyat Papua yakni; 99 ,2 % yang karena di intimidasi tidak memberikan hak suara. (d) bahwa kami bangsa Papua setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi :
Pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah kepada etnik dan kultur genoside bangsa Papua , maka kami atas dasar hal-hal tersebut diatas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961. Sebagai mana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J. Habibie beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 pebruari 1999 di istana Negara Jakarta.
(e) Dalam rangka mewujudkan kehendak bangsa Papua untuk merdeka - terpisah dari negara RI, kami akan menempuh dengan jalan dialog dan dengan cara-cara damai serta demokratis untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. (f) Sehubungan dengan - pengakuan kedaulatan hak-hak rakyat Papua maka semua bentuk kebijakan pembangunan RI di Papua supaya di negosiasikan dengan rakyat Papua sebagai pemegang kedaulatan rakyat Papua.
(g) Komunike politik ini kami menyampaikan dengan hormat kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Belanda, pemerintah Amerika Serikat dan PBB sebagai pihak-pihak yang telah meniadakan hak-hak politik bangsa Papua. Juga disampaikan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia untuk ikut mengetahui alasan -alasan dan mendukung kehendak bangsa Papua.
Rakyat Papua dalam memperjuangkan nasib bangsanya, tidak berhenti pada Tim 100 dan MUBES. Namun Rakyat Papua melaksanakan Kongres Nasional II Rakyat dan bangsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni 2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rachman Wahid. Dalam Kongres II Nasional Papua ini, dikeluarkan resolusi sebagai berikut:
Tidak saja berhenti pada Tim 100, namun Rakyat Papua mengadakan Musyarawah Besar (MUBES) pada 23 - 26 Pebruari 2000 di Hotel Sentani Indah. Dalam MUBES, rakyat Papua telah membicarakan hak-hak politik, hukum, keadilan dan kemanusiaan rakyat Papua sebagai bangsa menyampaikan komunike politik bangsa Papua sebagai berikut :
1. Bangsa Papua menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada presiden Republik Indonesia Kiai Haji Abdurrahman Wahid yang telah dengan penuh perhatian mendengar jeritan hati rakyat Papua mengenai identitas diri kami bangsa Papua sehingga menetapkan perubahan nama Irian menjadi Papua pada tanggal 31 desember 1999. Dan oleh karena itu, kami akan seterus dan selamanya menggunakan nama Papua sebagai sebutan untuk menggantikan nama Irian. Penghargaan yang sama kami sampaikan juga kepada presiden RI ke tiga B.J. Habibie yang telah menerima rakyat Papua untuk berdialog pada 26 Pebruari 1999 di istana negara Jakarta.
2. Rakyat Papua menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan bangsa Papua dari Belanda melalui PBB kepada pemerintah Indonesia pada 1 mei 1963. Penyerahan kedaulatan bangsa Papua tersebut, tidak pernah mendapat persetujuan dari rakyat dan dewan nasional Papua Barat yang mempunyai hak dan kewenangan untuk menentukan nasib bangsa Papua.
3. Bahwa sebagai konsekuensi dari tidak sahnya peralihan kedaulatan rakyat bangsa Papua oleh Belanda melalui PBB kepada Indonesia, maka rakyat Papua dengan tegas menolak hasil pepera yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962. Penolakan seluruh hasil pepera yang diselenggarakan dan dimenangkan oleh Indonesia pada tahun 1969 tersebut berdasarkan alasan sebagai berikut:
(a) Pelaksanaan pepera tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 pasal 18 butir d, “ yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa - pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan act of self determination harus sesuai dengan tata kebiasaan atau praktek international”, atau one man one vote. (b) Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self determination yang disebut pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua, dengan mengintimidasi secara politik dan militer, menangkap, memenjarakan dan membunuh rakyat Papua yang menentang cara-cara Indonesia dalam melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement.
(c)Bahwa 1026 orang yang di pilih Indonesia yang menentukan hasil pepera sebagai kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua, hanya 0,8 % dari 800.000, rakyat Papua. Mayoritas rakyat Papua yakni; 99 ,2 % yang karena di intimidasi tidak memberikan hak suara. (d) bahwa kami bangsa Papua setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi :
Pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah kepada etnik dan kultur genoside bangsa Papua , maka kami atas dasar hal-hal tersebut diatas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961. Sebagai mana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J. Habibie beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 pebruari 1999 di istana Negara Jakarta.
(e) Dalam rangka mewujudkan kehendak bangsa Papua untuk merdeka - terpisah dari negara RI, kami akan menempuh dengan jalan dialog dan dengan cara-cara damai serta demokratis untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. (f) Sehubungan dengan - pengakuan kedaulatan hak-hak rakyat Papua maka semua bentuk kebijakan pembangunan RI di Papua supaya di negosiasikan dengan rakyat Papua sebagai pemegang kedaulatan rakyat Papua.
(g) Komunike politik ini kami menyampaikan dengan hormat kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Belanda, pemerintah Amerika Serikat dan PBB sebagai pihak-pihak yang telah meniadakan hak-hak politik bangsa Papua. Juga disampaikan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia untuk ikut mengetahui alasan -alasan dan mendukung kehendak bangsa Papua.
Rakyat Papua dalam memperjuangkan nasib bangsanya, tidak berhenti pada Tim 100 dan MUBES. Namun Rakyat Papua melaksanakan Kongres Nasional II Rakyat dan bangsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni 2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rachman Wahid. Dalam Kongres II Nasional Papua ini, dikeluarkan resolusi sebagai berikut:
Berdasarkan Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB Desember 1948, Alinea I Mukadimah UUD RI
tahun 1945, Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) 14 Desember 1960 mengenai
jaminan pemberian kemerdekaan kepada rakyat dan wilayah-wilayah jajahan,
Manifesto Politik Komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober 1961, pengakuan
presiden Soekarno atas Keberadaan Negara Papua Barat yang tercetus melalui Tri
Komando Rakyat tanggal 19 Desember 1961, dan hasil-hasil kongres II Papua Juni
2000 terutama keinginan kuat dari seluruh rakyat dan bangsa Papua untuk
melepaskan diri dari NKRI, maka rakyat bangsa Papua melalui Kongres II Papua
2000 menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di seluruh dunia, bahwa :
(1) Bangsa Papua telah
berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. (2)
Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang
cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
(3) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil Pepera, karena
dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer
dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu
Bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19
Desember 1969. (4) Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB harus
mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan
kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
(5) Kejahatan terhadap
kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik
internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB,
harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan internasional.
(6) PBB, AS,dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam
proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya
secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
(7) Memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan Papua Barat serta pengusutan dan pengadilan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat. (8) Segera membentuk suatu tim independen yang akan melakukan perundingan damai dengan Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB untuk suatu referendum pengakuan kedaulatan rakyat dan bangsa Papua.
(7) Memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan Papua Barat serta pengusutan dan pengadilan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat. (8) Segera membentuk suatu tim independen yang akan melakukan perundingan damai dengan Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB untuk suatu referendum pengakuan kedaulatan rakyat dan bangsa Papua.
(9) Penyelesaian masalah
status politik Papua Barat secara adil dan demokratis harus dilakukan antara
wakil-wakil sah bangsa Papua dengan pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika
Serikat dan PBB. (10) Berdasarkan pengalaman Bangsa Papua selama 38 tahun di
bawah penindasan dan kekerasan pemerintah RI, maka kongres II Papua 2000
menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk memberikan
perlindungan hukum dan keamanan bagi bangsa Papua”.
Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, apa yang disampaikan di atas adalah latar belakang lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pemerintah Indonesia berusaha kuat dengan berbagai cara dan pendekatan, baik dengan pendekatan keamanan dan stigmasisasi separatisme untuk mengkaburkan dan menghilangkan proses sejarah ini. Rakyat Papua tidak pernah berbicara sekedar makan dan minum. Benang merah tuntutan dan perjuangan rakyat dan bangsa Papua tentang status politik dan masa depan mereka sudah jelas dan tidak bisa dihilangkan dengan kampanye kesejahteraan semu dan hampa belakangan ini.
Pemerintah Indonesia juga belum melaksanakan rekomendasi tentang masalah hak azasi manusia di Papua yang ditetapkan dalam Sidang Working Group Universal Periodic Review Dewan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012 lalu. Indonesia dievaluasi oleh 74 negara dan sebanyak 14 negara yang mempertanyakan kondisi HAM di Papua. Ke-14 negara itu adalah Kanada, Australia, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Prancis, Jerman, Swiss, Meksiko, Selandia Baru, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat dan Italia.
Pada Juli 2013 Komisi HAM PBB independen di Jenewa, Swiss, mempertanyakan Pemerintah Indonesia juga masalah kejahatan Negara dan kegagalan perlindungan orang Asli Papua dalam otonomi Khusus. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “apa yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para demonstran di Papua, dengan sejumlah demonstran meninggal? Sebanyak 70 orang pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?”
Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, apa yang disampaikan di atas adalah latar belakang lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pemerintah Indonesia berusaha kuat dengan berbagai cara dan pendekatan, baik dengan pendekatan keamanan dan stigmasisasi separatisme untuk mengkaburkan dan menghilangkan proses sejarah ini. Rakyat Papua tidak pernah berbicara sekedar makan dan minum. Benang merah tuntutan dan perjuangan rakyat dan bangsa Papua tentang status politik dan masa depan mereka sudah jelas dan tidak bisa dihilangkan dengan kampanye kesejahteraan semu dan hampa belakangan ini.
Pemerintah Indonesia juga belum melaksanakan rekomendasi tentang masalah hak azasi manusia di Papua yang ditetapkan dalam Sidang Working Group Universal Periodic Review Dewan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012 lalu. Indonesia dievaluasi oleh 74 negara dan sebanyak 14 negara yang mempertanyakan kondisi HAM di Papua. Ke-14 negara itu adalah Kanada, Australia, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Prancis, Jerman, Swiss, Meksiko, Selandia Baru, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat dan Italia.
Pada Juli 2013 Komisi HAM PBB independen di Jenewa, Swiss, mempertanyakan Pemerintah Indonesia juga masalah kejahatan Negara dan kegagalan perlindungan orang Asli Papua dalam otonomi Khusus. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “apa yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para demonstran di Papua, dengan sejumlah demonstran meninggal? Sebanyak 70 orang pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?”
Sultan Hamengku Buwono X
sebagai seorang bangsawan sejati dan negarawan dengan jujur dan tepat dapat
menyimpulkan kegagalan Pemerintah Indonesia dalam membangun Papua.
”Otonomi Khusus Papua terbukti gagal mensejahterakan rakyat Papua.
Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan Negara di Papua. Negara hadir di Papua
dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Konflik yang terjadi di Papua saat ini,
bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertikal antara pemerintah dan
masyarakat. Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua”. (Hotel
Borobudur, Jakarta, 15 Mei 2013).
Dari berbagai pihak
menyatakan kebijakan otsus bagi Papua telah gagal. Karena itu, apa yang
disampaikan dalam pertemuan MRP Papua dan Papua Barat dengan Penduduk Asli
Papua dalam evaluasi Otsus patut dihargai dan didukung. Ada dua
solusi yang diusulkan: (1) Membuka ruang dialog damai antara Penduduk Asli
Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan di
tempat yang netral. (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang diamandemen dengan UU
No. 35 tahun 2008 atas Otsus untuk Papua dan Papua Barat akan diterapkan
setelah dialog damai diadakan. Selain dua solusi tadi, langkah mendesak
lain yang perlu dilaksanakan pemerintah Indonesia adalah (1) Membebaskan semua
tahanan politik di Papua tanpa syarat. (2) Pelapor Khusus PBB diijinkan masuk
ke Papua. (3) Para wartawan asing dan pekerja kemanusiaan diijinkan masuk ke
Papua. Walaupun tuntutan ini berat bagi Indonesia, namun demi rasa
keadilan dan penegakan hak asasi manusia patut dilaksanakan dalam
semangat demokrasi di Indonesia.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan
Gereja-gereja Baptis Papua.
Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan
secara benar, jelas, dan tegas sejak awal karena telah terbentuk berbagai
pemahaman/persepsi yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai Otonomi Khusus di
kalangan rakyat Papua. Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat Papua dalam
masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua
sebagai suatu daerah otonomi, telah membuat rakyat Papua sudah tidak percaya
lagi terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh Pemerintah RI.
Yang lebih ironis lagi adalah bahwa
pemahaman/persepsi yang berbeda-beda bahkan negatif mengenai Otonomi Khusus di
Papua juga terjadi di kalangan pejabat pemerintah dan anggota lembaga
legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Hal-hal tersebut adalah beberapa di
antara hambatan-hambatan untuk menyosialisasikan UU tentang Otonomi Khusus di
Papua.
Istilah Otonomi Khusus terdiri dari dua kata
yaitu kata “otonomi” dan “khusus.” Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus
haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri atau rumah tangganya sendiri. Hal itu berarti pula bahwa
rakyat Papua telah mendapatkan kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar untuk
berpemerintahan sendiri, mengatur penegakan hukum dan ketertiban masyarakat,
mengatur dan mengelola segenap sumber daya yang dimilikinya, termasuk sumber
daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, tetapi dengan
tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta memberikan kontribusinya
kepada kepentingan nasional.
Demikian juga kebebasan dan kearifan untuk
menentukan kebijakan, strategi dan program-program pembangunan daerah, antara
lain pembangunan infrastruktur, pembangunan sosial, budaya, ekonomi, politik,
hukum dan ketertiban, yang sesuai dengan keunikan dan karakteristik alam serta
masyarakat dan budaya Papua.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah
pengembangan jati diri serta harga diri dan martabat orang Papua sebagai bagian
dari bangsa Indonesia.
Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai
perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan-kekhususan yang
dimilikinya, kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial
ekonomi masyarakat, budaya dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya
kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku
di Papua dan tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang
berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.
Produk Sejarah
Mengapa kepada Provinsi Papua, harus
diberikan status Otonomi Khusus, berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001?
Undang-undang ini tidak lahir begitu saja dalam suatu kevakuman. Ia lahir
sebagai suatu produk sejarah, melewati suatu proses sejarah yang panjang dengan
segala suka dan dukanya. Ia lahir dalam konteks dinamika sosial-politik dan
keamanan dari Negara Kebangsaan (Nation State) Indonesia. Ia lahir dalam
konteks penegakan hukum, HAM dan demokrasi.
Undang-undang ini juga lahir sebagai upaya
penyelesaian konflik. Sebagai jalan keluar untuk menciptakan Win-Win
Situation antara rakyat Papua yang ingin merdeka dan melepaskan diri
dari Negara Kesatuan RI (NKRI) dan Pemerintah RI yang tetap kokoh-teguh
mempertahankan integritas dan kedaulatan atas NKRI. Di satu pihak, sangat jelas
bahwa keinginan banyak orang Papua adalah kemerdekaan penuh dari RI,
sebagaimana disampaikan dalam Kongres Papua II di Jayapura (29 Mei sampai 3
Juni 2000). Di lain pihak juga sangat jelas bahwa para penguasa Indonesia telah
bereaksi negatif atau menolak tuntutan tersebut – suatu pandangan yang juga
dianut oleh banyak negara di Barat.
Kita semua menyadari, bahwa kedua belah
pihak, dengan alasannya masing-masing jika tetap teguh mempertahankan sikapnya,
pendiriannya, prinsip-prinsipnya dan berjuang dengan segala cara, termasuk
cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya, maka situasi konflik akan sulit
untuk dihindari dan konflik tersebut akan berkembang menjadi lebih luas dan
lebih dalam dengan segala implikasinya. Dalam setiap konflik, korban yang akan
berjatuhan dari kedua belah pihak akan sulit untuk dihindari, termasuk jatuhnya
korban dari orang-orang yang tidak bersalah.
Undang-Undang tentang Otonomi Khusus juga
sekaligus membuka ruang bagi perbaikan untuk masa depan yang lebih baik, belajar
dari kesalahan masa lampau agar supaya kita tidak boleh lagi mengulangi
kesalahan yang sama di masa depan. Dengan demikian undang-undang ini membuka
ruang untuk perbaikan dalam rangka memperjuangkan perbaikan kesejahteraan,
keadilan, perdamaian, persamaan hak, dan untuk mengembangkan jati diri, harga
diri serta harkat dan martabat sebagai manusia.
Dengan demikian undang-undang ini juga
membuka ruang untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Papua yang sangat
merosot, diakibatkan oleh kekecewaan mereka yang sangat dalam kepada Pemerintah
RI, dan sebaliknya membangun kembali kepercayaan Pemerintah RI kepada rakyat
Papua. Undang-undang ini juga membuka kesempatan dan sekaligus sebagai
tantangan untuk pengembangan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan manajemen
daerah/lokal dalam rangka mengembangkan Good Governance, Demokrasi
dan Civil Society di Provinsi Papua.
Masalah Implementasi
Pada tanggal 21 November 2001, Presiden
Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Republik Indonesia No 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Hingga sekarang, sudah lebih dari satu
setengah tahun sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun
peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi dan Perdasus) yang
ditetapkan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berbagai hambatan
telah menghadang implementasi dari undang-undang tersebut.
Hambatan-hambatan yang telah menjadi masalah
bagi implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua, dalam pengamatan kami,
antara lain sebagai berikut.
Pertama, masalah ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi
tentang Otonomi Khusus di Papua. Sejak awal telah terbentuk persepsi, pemahaman
dan pengertian yang berbeda-beda tentang Otonomi Khusus di kalangan masyarakat
Papua itu sendiri. Bertolak dari pemahaman dan persepsi yang berbeda-beda,
respons yang diberikan oleh masyarakat Papua juga berbeda-beda. Ada sebagian
yang memberikan respons yang positif, ada pula yang memberikan respons yang
negatif dan ada yang bersikap netral.
Mereka yang memberikan respons secara
positif, melihat status Otonomi Khusus sebagai suatu jalan keluar yang
bersifat Win-Win yang dapat mencegah konflik bahkan mencegah
jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Ada pula sebagian masyarakat yang
secara tegas menolak status Otonomi Khusus, karena yang mereka inginkan adalah
kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI.
Hal lain seperti dikemukakan di atas, bahwa
yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi yang berbeda-beda,
bahkan negatif tentang Otonomi Khusus di Papua, juga terjadi di kalangan
pejabat Pemerintah dan anggota-anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun
di daerah. Padahal mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan tentang
Otonomi Khusus secara benar, jelas dan tegas. Hal seperti itu akan sangat
menghambat upaya sosialisasi tentang Otonomi Khusus ke tengah-tengah masyarakat
Papua.
Kedua, masalah saling tidak percaya (distrust). Segala penderitaan
yang dialami oleh masyarakat Papua, pelanggaran HAM, pembunuhan, penindasan,
intimidasi, ketidakadilan, dan diskriminasi telah membawa sebagian masyarakat
Papua kepada suatu kekecewaan yang sangat dalam. Kekecewaan demi kekecewaan
telah membawa mereka untuk tidak percaya lagi kepada NKRI. Mereka tidak percaya
bahwa masih ada ruang bagi perbaikan dan karena itu mereka memilih alternatif
untuk berpisah dari NKRI.
Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat
Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang juga memberikan
otonomi kepada Provinsi Papua, telah membuat sebagian rakyat Papua sudah tidak
percaya lagi terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh pemerintah RI. Mereka
beranggapan bahwa untuk keluar dari penderitaan seperti itu, adalah hak mereka
untuk menentukan nasib masa depannya sendiri.
Pada sisi yang lain, dari pihak pemerintah
pusat, ada kalangan atau pejabat tertentu yang curiga atau khawatir bahwa
Undang-Undang Otonomi Khusus akan lebih mendorong perjuangan rakyat Papua untuk
merdeka (dalam arti memisahkan diri dari NKRI). Lebih ironis lagi bahwa
sejumlah pejabat orang asli Papua yang selama ini justru berperan sebagai
penengah, juga dicurigai tanpa bukti dan data yang akurat.
Dengan demikian, salah satu masalah utama
dalam implementasi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus di Papua adalah masalah
saling tidak percaya antara satu sama lain. Ketiga, sangat
lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP, Perdasi,
Perdasus). Hingga Juni 2003, sudah lebih dari satu setengah tahun sejak
ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun peraturan pelaksanaan
(Peraturan Pemerintah, Perdasi, dan Perdasus) yang ditetapkan, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.
Salah satu penyebab utama dari kelambatan
tersebut adalah bahwa Tim Inti yang terdiri dari para intelektual Papua yang
menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dilibatkan secara utuh
dan penuh dalam penyusunan draft rancangan peraturan-peraturan pelaksanaan
tersebut.
Tanpa keterlibatan Tim Inti (Tim Asistensi)
tersebut tidak saja menyebabkan proses itu menjadi lambat, tetapi bisa terjadi missing
link antara nilai-nilai dasar dan norma-norma dasar yang diatur dalam
undang-undang tersebut untuk kemudian diterjemahkan/dijabarkan ke dalam
peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Bukan tidak mungkin terjadi
misinterpretasi, misunderstanding dan misperceptionterhadap
undang-undang tersebut. Pada gilirannya konsep-konsep dalam peraturan-peraturan
pelaksanaannya (PP, Perdasi, Perdasus) akan bias/menyimpang dari nilai-nilai
dan norma-norma dasar yang tertuang dalam undang-undang tersebut.
Keempat, masalah penyerahan kewenangan dan
sumber daya yang tidak konsisten dan setengah hati oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Kita semua memahami bahwa menyerahkan semua kewenangan dan
sumber daya yang selama ini dikelola oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah, bukanlah hal yang mudah, walaupun atas perintah undang-undang. Dalam
banyak hal Pemerintah Pusat (dalam hal ini departemen tertentu) belum siap
secara mental untuk menyerahkan semua kewenangan dan sumber daya yang
dimilikinya.
Bahkan ada kewenangan tertentu yang sudah
diserahkan, tetapi kemudian ditarik kembali, sehingga terjadi kondisi “tarik
ulur” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Hal lain adalah persiapan secara
administratif, struktural dan fungsional dari pihak yang menyerahkan dan pihak
yang menerima, belum diatur secara jelas oleh Pemerintah Pusat sehingga
memperlambat bahkan menghambat proses penyerahan itu sendiri. Dalam hal
ini Pemerintah Pusat tidak konsisten untuk melaksanakan urusan-urusan
penyerahan, sesuai dengan perintah undang-undang.
Kelima, masalah kesiapan Pemerintah Daerah untuk menerima
dan mengambil alih kewenangan, sumber daya, tugas dan tanggung jawab dari
Pemerintah Pusat. Kita semua memahami bahwa Pemerintah Daerah belum siap, dalam
arti kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan manajemen yang dimilikinya
belum memadai untuk memikul dan mengemban kewenangan, tugas dan tanggung jawab
yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat.
Akibat dari kekuasaan yang sangat
sentralistik pada waktu yang lalu telah membentuk Pemerintah Daerah yang kerdil
dan sangat bergantung dari subsidi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat,
sehingga cenderung untuk mematikan inisiatif dan kreativitas Pemerintah Daerah.
Hal-hal seperti itu telah ikut menghambat upaya-upaya pemberdayaan Pemerintah
Daerah. Demikian juga intellectual resources (think thank) yang
sangat terbatas untuk menyusun/merumuskan konsep-konsep kebijakan, strategi dan
program-program pembangunan daerah yang tepat dan berguna/bermanfaat bagi
seluruh rakyat merupakan suatu masalah tersendiri.
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah
pengawasan, transparansi dan akuntabilitas, yang juga belum berjalan
sebagaimana mestinya sehingga membuka peluang/kesempatan untuk terjadinya
korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin berkembang di daerah-daerah. Hal-hal
tersebut akan menghambat upaya-upaya untuk mengembangkan suatu pemerintah yang
baik dan bersih (clean and good governance) di daerah-daerah.
Penulis adalah mantan Gubernur Irian Jaya.
Tulisan ini diangkat dari makalah yang disampaikan di Denpasar Bali/Jakarta,
15-18 2003 sebagai anggota “study group” dari East-West Center Project on the
Dynamics and Management of Internal Conflicts in Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!