Mahasiswa Papua asal Pegunungan Bintang yang tergabung
dalam Komunitas Mahasiswa Aplim Apom (KOMAPO) Yogyakarta menilai pemerintah
daerah Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, mengabaikan Pembangunan
Sumber Daya Manusia di Pegunungan Bintang, khususnya perhatian pada mahasiswa.
Salah satu mahasiswa Pegunungan Bintang Fransiskus
Kasipmabin, Kamis, (30/01/14) dalam keterangannya kepada majalahselangkah.com menuturkan
beberapa sebab pemerintah Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang tidak konsisten
membiayai pendidikan, terutama biaya kuliah mahasiswa.
Kata dia, Bupati Welington Wenda pada periode ini dinilai
tidak melanjutkan program yang sudah ada (program periode pertama). Program
periode pertama, misalnya MoU (kerja sama) di bidang pendidikan oleh pemerintah
Kabupaten Pegunungan Bintang dengan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pada perjanjian itu, kata dia, telah menyepakati pengiriman
mahasiswa Pegunungan Bintang untuk kuliah di Pendidikan Guru SD lima kali
dengan target bahwa sekali dikirim 25 mahasiswa. Maka, jumlahnya, 125 mahasiswa
untuk kuliah di jurusan Pendidikan Guru.
Namun, kata dia, pemerintah membatalkan dua kali pengiriman.
Kemudian waktu MoU dengan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta berakhir pada
tanggal 31 Desember 2013. Sampai saat ini tidak ada tanggapan dari pemerintah
daerah terhadap berakhirnya masa MoU.
Hal kedua menurut KOMAPO adalah paska kekalahan anak daerah
di pentas politik tahun 2010/2011, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten Pegunungan Bintang tidak menjalankan fungsi DPRD (Fungsi Legislasi
dan Pengawasan).
"Mereka tidak tahu menahu terhadap kinerja kerja
Eksekutif, mengabaikan persoalan rakyat. DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang
tidak kerja sama dengan pemerintah daerah. Hal ini membuat kinerja kerja
pemerintah daerah tidak konsisten. Kemudian penggunaan anggaran oleh pemerintah
daerah, terutama anggaran pendidikan tidak tepat pada sasaran," katanya.
Ketiga, menurut mereka adalah ketika Bupati kabupaten
Pegunungan Bintang Welington Wenda mencalonkan diri menjadi gubernur provinsi
Papua, aktivitas pemerintahan di daerah macet total.
Akibat dari itu, berdampak pada pelayanan publik di semua
sektor termasuk pelayanan di bidang pendidikan. Hal ini diperparah dengan belum
diberikannya kewenangan bupati kepada wakilnya, ketika mencalonkan diri menjadi
gubernur.
Penyebab keempat kata mereka, pemerintah daerah (Wakil
Bupati, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Bendahara harian, dan Sekretariat
Daerah) melempar tugas dan tanggungjawab terkait pembiayaan pendidikan (biaya
kuliah bagi mahasiswa) di luar Papua. Akibat dari itu, 200-an lebih mahasiswa
menjadi korban. Lalu, lembaga kerja sama menjadi kendala dalam komunikasi
dengan pemerintah daerah.
Kelima, kata mereka, hingga saat ini anggaran Pendidikan
kabupaten Pegunungan Bintang (sumber dan alokasi anggaran) kurang jelas. Sumber
anggaran pendidikan seperti dana Otsus (30 % untuk pendidikan), APBD, UP4B, dan
alokasi lainnya. APBD Kabupaten Pegunungan Bintang 1,2 Triliun perlu
dipertanyakan, karena anggaran pendidikan belum bisa direalisasikan karena
lembaga kerja sama seperti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Yayasan
Binterbusih Semarang masih utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tak ada kata terlambat tuk berubah. Masa lalu hanyalah pendewasaan dirimu. Hidupmu tak ditentukan oleh orang lain tapi kamu!